JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi tetap memiliki kewenangan memutus perkara melebihi yang dimohonkan (ultra petita).
Hal ini menjadi salah satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), dalam sidang uji materi Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.
Keputusan soal MK tetap punya kewenangan ultra petita, hanya satu dari sekitar 16 pasal UU MK yang dimohonkan diuji materikan di MK. Hakim Konstitusi Akil Mochtar mengakui, MK menyadari adanya keterkaitan antara materi UU yang diujikan dengan keberadaan MK. Sementara di sisi lain, ada prinsip universal nemo judex in causa sua, atau hakim tidak mengadili hal-hal yang terkait dengan dirinya sendiri.
Hanya saja MK tetap memutuskan untuk menyidangkan uji materi tersebut, mengingat tidak ada forum lain yang bisa mengadili permohonan itu.
Pemohon uji materi UU MK antara lain adalah Guru Besar Hukum Universitas Andalas Saldi Isra, dan dosen Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar.
Dalam pertimbangannya, hakim konstitusi Achmad Sodiki menyatakan, dasar tetap dimilikinya kewenangan ultra petita adalah dengan pertimbangan bahwa dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, hakim tidak boleh diikat sekedar pada kotak permohonan pemohon, yang didasarkan kepentingan pribadi yang bersifat individual.
Kuasa hukum pemohon Wahyudi Djafar, mengatakan, keluarnya putusan ini, kian memperlihatkan dengan jelas, betapa buruknya kualitas legislasi DPR dan pemerintah, dalam pembentukan suatu undang-undang. Khusus untuk revisi UU MK, menurut Wahyudi semangat yang ada di pembentuk undang-undang, justru semangat untuk membatasi kewenangan MK, yang justru potensial akan menghambat perlindungan hak-hak konstitusional warga negara.
"Selain itu, putusan ini juga memperlihatkan betapa kurangnya pemahaman pembentuk undang-undang, tentang arti penting dan maksud dari suatu mekanisme pengujian undang-undang (judicial review), sebagai alat dari bangunan sistem cheks and balances yang dianut oleh suatu negara yang menganut paham demokrasi konstitusional," katanya.
Wahyudi mengatakan, lahirnya UU Nomor 8/2011 juga memperlihatkan betapa pembentuk undang-undang tidak mencermati dan mengakomodasi realitas dan kebutuhan ketatanegaraan kekinian, sehinga aturan yang dilahirkan justru menjauh dari kebutuhan dewasa ini.
"Bangunan ketatanegaraan yang berprinsip pada konstitusionalisme, yang sudah dibangun dalam satu dasawarsa terakhir, pascaamandemen konstitusi, menjadi terancam, bilamana beberapa ketentuan di dalam UU Nomor 8/ 2011 tersebut tidak dibatalkan," katanya.