Jakarta, MK Online - Untuk kesekian kalinya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) kembali dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (13/10) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 68/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh Bambang Supriyanto, Max Boli Sabon, Eddie I. Doloksaribu, Ari Lazuardi Pratama, Andriko Sugianto Otang serta Muhammad Anshori.
Bambang Supriyanto selaku juru bicara Para Pemohon memohon pengujian Pasal 45A, Pasal 57 ayat (2a), Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf h UUMK. Menurut Bambang, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, terutama Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 28H ayat 1. “Perubahan UU MK yang baru dari UU No.24/2003 menjadi UU No.8/2011 justru melemahkan UU Mahkamah Konstitusi sebelumnya. Padahal MK merupakan anak kandung reformasi. Tak hanya itu, MK merupakan palang pertama berkaitan dengan permohonan pemakzulan Presiden jika terbukti bersalah,” urai Bambang di hadapan Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar.
Menurut Bambang, Pasal 45a, pasal 57 ayat (2a) dan pasal 59 ayat (2) UU MK melemahkan eksistensi Mahkamah Konstitusi karena menghalanginya untuk dapat berperan secara optimal sebagai the constitution guardian. Pembatasan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 57 ayat (2a) dan Pasal 59 ayat (2) UUMK telah membuat peran Mahkamah Konstitusi dengan sembilan orang hakim konstitusi menjadi tidak diberdayakan secara optimal. Pasal 59 ayat (2) UU MK, lanjut Bambang, bukan solusi yang tepat untuk mengisi kekosongan hukum sebagai akibat suatu pasal atau ayat dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.
“Pembentukan norma baru sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (2) UUMK dan Pasal 23 ayat (1) huruf b dan ayat (2) Undang-Undang No 12 tahun 2011, bila norma baru dibuat oleh DPR, tidak dapat dipastikan bahwa norma baru dapat dibentuk dalam waktu yang singkat, sementara untuk hal-hal yang bersifat mendesak seperti pada perkara No.102/PUU-VII/2009 tidak dimungkinkan dapat dibuat suatu solusi cepat apabila dilaksanakan melalui proses berdasarkan Tata Tertib DPR RI dan Pasal 59 ayat (2) UUMK dan Pasal 23 ayat (1) huruf b dan ayat (2) Undang-Undang No 12 tahun 2011,” paparnya.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Majelis Hakim Panel yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati serta Ahmad Fadlil Sumadi sebagai Anggota Panel Hakim, memberikan beberapa saran perbaikan. Maria menyarankan agar pemohon memunculkan pasal-pasal yang diomohonkan untuk diujikan di dalam pokok permohonan. “Pasal-pasal yang diujikan oleh para Pemohon hanya terselip dalam kalimat panjang (argumentasi permohonan). Ini harus dimunculkan,” jelasnya.
Sementara, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mempersoalkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon. Menurut Fadlil, permohonan Pemohon tidak memaparkan secara spesifik kerugian konstitusional yang dialami oleh pemohon. “Harus ada rasionalitas konstitusionalitas yang terkait dengan konstitusi yang ada pada Pemohon. Yang paling banyak dikutip (dalam permohonan Pemohon) banyak mengutip putusan MK, akan lebih baik jika banyak mengutip tentang rasionalitas konstitusi yang tertuang dalam alur pikir hakim,” katanya.
Sementara Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar meminta agar Para Pemohon menguraikan secara tegas mengenai argumentasi permohonan. “Uraian (pokok permohonan) dipertegas dan dijelaskan kembali secara spesifik mengenai kerugian konstitusional Saudara. Permohonan Saudara masih bersifat umum,” sarannya. (Lulu Anjarsari/mh)