Jakarta, MK Online - Dua ahli dari Pihak Pemerintah memberikan penjelasan terkait Pengujian Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian terhadap UUD 1945, Rabu (12/10). Kedua ahli yang memberikan penjelasannya, yaitu Ahmad M. Ramli dan Denny Indrayana yang pada menyatakan pengaturan menolak orang ke luar Indonesia (cegah) dengan alasan yang dibenarkan tidak bertentangan dengan konstitusi.
Denny Indrayana yang juga merupakan Sekretaris Satuan Petugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum dalam kesaksiannya sebagai ahli menegaskan bahwa UU Keimigrasian terutama Pasal 16 ayat (1) tidak bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28D UUD 1945. Dalam paparannya Denny mengatakan Hak Asasi Manusia (HAM) bisa diklasifikasikan derogable (hak-hak yang bisa dikurangi) atau non-derogable rights (hak-hak yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun).
Lebih lanjut Denny mengatakan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 sudah memberikan limitasi atau pembatasan non-derogable rights, yaitu antara lain pada hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa. Sedangkan pembatasan hak untuk bergerak atau cekal (cegah dan tangkal) menjadi non-derogable rights atau derogable menurut Denny tidak ditemukan dalam Pasal 28 I UUD 1945. “Dan karenanya saya berpendapat hak untuk bebas bergerak ini adalah derogable rights (hak-hak yang bisa dikurangi),” lanjut Denny.
Pada prinsipnya, lanjut Denny, hak yang dibatasi tersebut menjadi sah atau konstitusional jika dilakukan dengan ketentuan hukum atau melalui undang-undang. Ketentuan di dalam UU Imigrasi kemudian menjadi pintu masuk untuk pembatasan kebebasan bergerak tersebut. ”Menurut hukum internasional, hak-hak sipil dan politik sekalipun yang telah kita ratifikasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, juga menganut prinsip yang sama bahwa setiap hak itu kecuali dia tidak dapat disimpangi dalam keadaan apa pun, itu dapat dibatasi,” ungkap Denny menjelaskan ketentuan dalam Pasal 12 poin 3 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Ahli Pemerintah lainnya, Ahmad M. Ramli yang juga menjadi Ketua Tim Pemerintah saat UU Keimigrasian ini dibuat menyampaikan keterangannya di hadapan Panel Hakim Konstitusi yang diketuai Achmad Sodiki. Ramli memulai penjelasannya dengan mengatakan bahwa sistem keimigrasian merupakan salah satu perwujudan pelaksanaan kedaulatan negara dan sekaligus perwujudan dari tanggung jawab negara (state responsibility).
Dalam menjaga wilayah yurisdiksinya, negara sekaligus juga menjaga ketertiban seluruh kehidupan masyarakat, termasuk menjamin penegakan hukum. Untuk menjaga wilayah yuridiksi, negara perlu memiliki sistem keimigrasian yang didukung oleh hukum yang kuat karena imigrasi menjadi pintu gerbang keluar-masuk penduduk dunia. ”Dengan demikian, hukum keimigrasian sama sekali tidak dimaksudkan untuk melanggar hak asasi manusia karena seluruh negara di dunia memperlakukan hal yang sama, yaitu sangat selektif dan hati-hati dalam menjaga pintu gerbang internasionalnya,” jelas Ramli.
Ramli juga menegaskan cekal tidak selalu diidentikkan dengan status seseorang apakah sebagai tersangka atau bahkan status seseorang yang sedang dalam proses penyelidikan. Ramli juga menekankan bahwa Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian tidak bertentangan dengan Pasal 28A dan D UUD 1945. ”Bahkan (Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian, red) merupakan implementasi dari Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar1945. Karena dalam Pasal dimaksud secara tegas dinyatakan, ‘Setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan, serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi kebutuhan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai agama, keamanan, ketertiban umum dalam suatu masyarakat’’, tutup Ramli.
Untuk diketahui, pengujian UU Keimigrasian ini diajukan oleh tujuh advokat, yaitu Rico Pandeirot, Afrian Bondjol, Rachmawati, Yulius Irawansyah, Slamet Yuwono, Dewi Ekuwi Vina, dan Gusti Made Kartika. Beberapa orang Pemohon merupakan advokat yang bekerja di kantor hukum Otto Cornelius (OC) Kaligis and Associates. OC Kaligis sendiri merupakan kuasa hukum tersangka kasus korupsi proyek Wisma Atlet ASEAN, M Nazaruddin yang pernah dicekal dan dicabut paspornya tidak lama setelah ditetapkan sebagai tersangka dan dipulangkan ke Indonesia dari Kolombia. (Yusti Nurul Agustin/mh)