Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki wewenang tidak hanya menguji konstitusionalitas pasal dalam sebuah undang-undang, namun juga berwenang untuk menafsirkan suatu norma undang-undang sehingga terdapat kesesuaian atau konstitusionalitas jika dikaitkan dengan norma konstitusi. Hal ini disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum Agusrin M. Najamuddin dalam sidang lanjutan pengujian terhadap Undang-Undang RI No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi pada Jumat (7/10).
“Paralel dengan hal ini, maka patut dipertimbangkan untuk menyatakan bahwa Mahkamah juga berwenang untuk menafsirkan apakah suatu norma undang-undang adalah sesuai atau konstitutional jika dikaitkan dengan norma konstitusi, jika sekiranya memang terdapat keragu-raguan terhadap konstitusionalitas terhadap norma undang-undang itu. Atau, apabila ternyata norma yang semula disangka jelas dan konstitusional, namun kemudian telah ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membuatnya bertentangan dengan norma konstitusi di dalam UUD 1945,” urai Yusril di hadapan Majelis Hakim Panel yang diketuai oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki.
Dalam sidang perbaikan permohonan tersebut, Yusril mengemukakan beberapa perbaikan di antaranya menguatkan argumentasi dari dalil yang diajukan Pemohon bahwa Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP telah melanggar hak konstitusional Pemohon. Menurut Yusril, seperti yang dijamin oleh Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 mengenai kebebasan mengemukakan pendapat, maka setiap orang juga bebas untuk menafsirkan apa saja sejalan dengan pikirannya dan hati nuraninya masing-masing, termasuk bebas untuk menafsirkan suatu norma undang-undang yang berlaku. Kebebasan seperti itu, lanjut Yusril, tentu pula terdapat pula pada orang-orang yang menduduki suatu jabatan pada suatu lembaga tertentu, sehingga pendapatnya dapat merepresentasikan lembaga itu.
“Namun jika penafsiran-penafsiran itu kemudian ternyata secara aktual dan spesifik dirasakan oleh seseorang telah merugikan hak-hak konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945, atau penafsiran-penafsiran itu ternyata telah menghilangkan asas kepastian hukum dan keadilan, maka Mahkamah Konstitusi sebagai “the guardian of the constitution” adalah berkewajiban untuk memutuskan perbedaan-perbedaan pendapat itu, agar norma undang-undang dapat ditafsirkan dan ditegakkan sesuai dengan norma-norma konstitusi,” paparnya.
Kemudian, Yusril mengungkapkan bahwa dengan adanya berbagai penafsiran terhadap Pasal 67 dan 244 KUHAP, selain menderita kerugian atas hak-hak konstitusional, Pemohon juga menderita kerugian untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan jaminan kepastian hukum dalam “due process of law” menggunakan hukum acara pidana yang berlaku, sebagaimana layaknya seorang warganegara yang hidup dalam sebuah negara hukum. Pemohon yang seharusnya telah menikmati kebebasan, jelas Yusril, tiba-tiba kehilangan jaminan itu karena tindakan Jaksa Penuntut Umum yang melakukan kasasi atas putusan bebas yang dijatuhkan kepada Pemohon.
“Secara selintas, mungkin akan ada pendapat yang mengatakan bahwa hal ini bukanlah persoalan norma, melainkan persoalan penerapan hukum yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili, memeriksa dan memutusnya. Namun tidak akan pernah ada penerapan hukum tanpa landasan undang-undang. Sementara undang-undang dilaksanakan dengan cara memahami dan menafsirkannya. Suatu tindakan, dalam keadaan yang normal, hanyalah akan dilakukan oleh orang yang sehat dan waras, dengan dilandasi oleh pemahaman tertentu tentang yang dia dapat memilih tentang apa yang akan dilakukan atau tidak dilakukannya,” tuturnya.
Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim Panel mengseahkan enam alat bukti. Sidang berikutnya adalah mendengarkan keterangan Pemerintah, DPR dan Saksi serta Ahli Pemohon. (Lulu Anjarsari/mh)