Jurnas.com | PUTUSAN Mahkamah Konstitusi yang memutus perkara di luar yang dimohonkan pemohon (ultra petita) dibuat untuk menyelesaikan berbagai permasalahan hukum dan pemilu di Indonesia. Misalnya kasus Century dan KTP serta paspor sah digunakan sebagai identitas untuk memilih dalam pemilu.
"Itu menjadi solusi bagi persoalan kebangsaan," kata Hakim Konstitusi Akil Mochtar dalam sidang panel uji materi UU No 8 tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, di Gedung MK, Jakarta, Kamis (13/10).
Para pemohon merupakan praktisi hukum masing-masing Dr. Bambang Supriyanto, Max Boli Sabon, Eddie Doloksaribu, Adi Lazuardi Pratama, Muhammad Anshori, Andriko Sugianto Otang menguji Pasal 45 A, Pasal 57 ayat (2a), Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf h UUMK.
Pemohon menyoroti dua hal dalam pasal tersebut berdampak dapat melemahkan peran MK, yaitu larangan bagi MK memberikan putusan yang mengandung ultra petita dalam Pasal 45 A, Pasal 57 ayat (2a), an Pasal 57 ayat (2a), dan Pasal 59 ayat (2) UUMK dan syarat-syarat bagi calon hakim kontitusi dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b dan huruf h UU MK.
"Pasal tersebut telah merugikan hak konstitusional pemohon. Yakni setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat," kata Bambang Supriyanto. MK sebagai lembaga peradilan konstitusi, harus lebih terarah dalam melakukan tugasnya.
"MK harus berperan optimal memberikan kepastian hukum untuk bagi warga," kata Bambang Supriyanto. Dalam sidang panel pendahuluan yang dilakukan Panel Hakim Akil Mochtar sebagai Ketua Panel, didampingi Ahmad Fadlil Sumadi dan Maria Farida Indrati, pemohon disarankan memperbaiki permohonan, khususnya kerugian konstitusional pemohon dan pertentangan norma permohonan.