Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD menjadi pembicara tunggal dalam Dialog Kebangsaan dengan tema ”Mengawal Implementasi Konstitusi Secara Konsisten dalam Sistem Trias Politika (Perimbangan Kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudisial),” dalam Acara Rapat Pimpinan Muslimat Nahdlatul Ulama Tahun 2011, di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, Senin (10/10).
Ia menggaris bawahi di dalam materi yang disampaikan, bahwa sejak manusia lahir, pasti berada pada suatu negara. Oleh sebab itu, dalam kehidupan bernegara, manusia tidak bisa hidup tanpa berpolitik.
Di depan ratusan tokoh dan Pimpinan Muslimat NU dari berbagai daerah di Indonesia, Mahfud juga mengatakan, dengan menyitir pendapat Aristoteles, bahwa manusia adalah makhluk politik atau zoon politicon, sehingga manusia hidup dengan orang lain dalam sebuah kehidupan berpolitik. Politik itu sendiri, kata Mahfud MD, adalah kegiatan untuk berorganisasi dalam sebuah negara. ”Cuma yang harus ditekankan bahwa berpolitik tidak harus ikut dengan partai politik,” katanya.
Lebih lanjut Mahfud mangatakan bahwa setiap orang tidak bisa menghindar dari kehidupan berpolitk. Oleh sebab itu, orang tersebut bisa ikut berpolitik, bisa juga ikut berpartai politik. ”Itu sebabnya, dahulu mantan Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa kegiatan politik itu bisa dilakukan dengan partai politik, bisa juga dilakukan dengan gerakan politik, seperti NU bukan partai politik, tetapi sudah pasti melakukan gerakan politik,” jelasnya.
Menurut Mahfud, hidup dalam sebuah negara tidak bisa hidup tanpa berpolitik, sehingga dalam bernegara ada Konstitusi, yaitu aturan main yang harus diikuti dalam hidup berpolitik. ”Tidak boleh orang dalam hidup bernegara melawan konsitusi,” ucapnya.
Isi konstitusi, kata Mahfud MD, adalah memberi jaminan kehidupan hak asasi manusia, dan agar supaya hak asasi manusia bisa dilindungi dengan benar, maka dibentuk aparat-aparat pemerintahan negara. ”Di sinilah relevansinya ada lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif agar hak-hak warga negara itu bisa dilindungi,” terangnya.
Selain menyinggung isi konstitusi, ia juga menyoroti kondisi konstitusi pada saat zaman orde baru. Menurutnya, pada zaman dahulu, konstitusi Indonesia meletakkan Presiden sebagai pusat kekuasaan. Walaupun kekuasaan tertinggi ada pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tetapi kekuasaan terbesar tetap berada pada Presiden. ”Dan sekarang, sejak adanya perubahan UUD, yang dilakukan sejak 1999-2002, tidak ada lembaga tertinggi negara, ”semua tersusun hubungan horizontal, dan tidak struktural atau tidak vertikal herarkis, tetapi sejajar,” tegas Mahfud.
Menanggapi pertanyaan dari seorang peserta yang menanyakan apakah mungkin terjadi intervensi terhadap trias politika (legislatif, eksekutif, dan yudikatif)? Mahfud MD menjawab bahwa kalau zaman dahulu iya ada intervensi. ”Misalnya, pada zaman dahulu legislatif bukan hanya diintervensi tetapi juga dikooptasi (dikuasai), dan ini lebih gawat lagi dibandingkan dengan intervensi,”jelasnya.
”Pada zaman dahulu tidak ada satupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bisa membuat Undang-Undang (UU), kecuali mengesahkan apa yang dibuat oleh Pemerintah. Coba kita cari di dalam sejarah Indonesia, selama Pak Harto menjadi Presiden, tidak pernah DPR membuat rancangan UU, semua dibuat oleh Pemerintah, lalu DPR disuruh mengesahkan. Bahkan saat mengesahkan itu saja harus berkonsultasi dahulu dengan Presiden, apakah Presiden setuju atau tidak? Sehingga UU tersebut menjadi UU yang elitis, hukum yang konservatif, seperti yang ada pada di Desertasi saya,” urai Mantan Menteri Pertahanan Ri ini.
Hal tersebut, kata Mahfud, sudah tidak ada saling intervensi, yang ada sekarang adalah perselingkuan dan main mata. Menurut UUD 1945, APBN dibuat oleh Pemerintah bersama dengan DPR, tetapi sekarang berselingkuh, ada tawar menawar, dan sekarang ada calo anggaran. ”Fakta tersebut telah ditemukan di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” ucapnya. (Shohibul Umam/mh)