Menteri Kehutanan Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Nomor 70/Kpts-II/2001 telah melakukan penyimpangan yang menyebabkan ketidakpastian hukum. Hal ini disampaikan Panca Astawa ketika menjadi Ahli Pemohon dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) pada Selasa (4/10), di Ruang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara dengan Nomor 45/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh Muhammad Mawardi, Hambit Bintih, Duwel Rawing, Zain Alkim, Ahmad Dirman dan Akhmad Taufik.
“Seharusnya pengukuhan kawasan hutan dilakukan oleh Pemerintah, bukan Menteri Kehutanan. Pemerintah di dalam UU a quo, yakni Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat, dalam hal ini, adalah Presiden RI yang memegang kekuasaan. Penyimpangan oleh Menteri Kehutanan ini melalui surat keputusan yang saya sebutkan di atas menyebabkan ketidakpastian hukum,” urai Panca di hadapan Majelis Hakim Konstitusi yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Panca juga menyatakan Pasal 1 Angka (3) bertentangan dengan UUD 1945. Menurut Panca, Pasal 14 dan Pasal 15 UU Kehutanan, pengukuhan kawasan hutan harus dilakukan dalam empat tahap. “Ada empat tahapan yang dicantumkan dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UU Kehutanan sebagai kegiatan pengukuhan kawasan hutan, yakni penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan hutan, dan penetapan kawasan hutan. Namun Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan menyebutkan, ‘Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap’. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dan melanggar hak konstitusional masyarakat adat,” jelasnya.
Dalam persidangan mendengarkan Ahli dan Saksi Pemohon tersebut, Pemohon menghadirkan dua orang saksi yang memberikan keterangan Pasal 1 angka (3) UU kehutanan telah merugikan hak konstitusional masyarakat adat di Kalimantan Tengah. Menurut salah satu saksi, keputusan Pemerintah melalui Surat Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts-II/2001 menimbulkan konflik antara masyarakat adat dengan Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah. “Pemerintah hanya melakukan penunjukan tanpa melakukan pembatasan wilayah. Hal ini menimbulkan konflik penggunaan lahan yang menyebabkan kekalahan masyarakat adat dan kerugian secara konstitusional. Akibat ketidajelasan dari Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan tersebut kami susah memberikan izin kepada masyarakat baik untuk pertanian, perkebunan, hingga perikanan karena bisa mendapatkan sanksi pidana,” papar saksi Pemohon.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan bertentangan dengan beberapa ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2), Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Pemohon, aset-aset daerah Pemohon maupun fasilitas lainnya yang dibangun sejak tahun 1950, kemudian dinyatakan sebagai kawasan hutan akibat adanya Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Kehutanan menyebabkan Pemohon tidak bisa mengembangkan potensi daerah. (Lulu Anjarsari/mh)