Nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara adalah tercermin dalam sebuah gotong royong. Oleh karenanya, kalau berbicara mengenai embrio Pancasila maka jawabannya adalah pada gotong royong. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Harjono, saat menjadi narasumber dalam acara ”Forum Dialog Nasional Bidang Hukum dan Non Hukum,” yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (5/10).
Gotong royong, menurut Harjono, telah tumbuh dan berkembang dalam diri masyarakat Indonesia, dan Pancasila bukan merupakan pandangan hidup yang diimpor dari luar. ”Pancasila atau gotong royong tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuh berkembangnya bangsa Indonesia,” kata Harjono.
Kalau warga Indonesia mempunyai gambaran bahwa bangsa Indonesia mengalami pembentukan pertumbuhan dari suku-suku bangsa yang ada di Nusantara, maka sejak itulah, menurut Harjono, secara historis juga berkembangnya nilai-nilai gotong royong dan Pancasila.
Harjono juga mengatakan bahwa Pancasila memiliki jumlah lima sila, dan jumlah tersebut merupakan hasil dari penggalian dari unsur-unsur gotong royong. ”Jadi unsur tersebut digali dari jiwa masyarakat kita yaitu gotong royong, dan hubungannya antara sila satu dengan yang lain adalah saling terkait dan saling mengkondisikan,” jelasnya.
Terkait dengan perumusan Pancasila yang ditawarkan oleh Bung Karno, menurut Harjono, memang berbeda dengan Pembukaan UUD 1945. Perbedaan tersebut, katanya, dikarenakan perumusan yang dilakukan oleh Bung Karno adalah sebuah perumusan sangat umum dan abstrak, sedangkan perumusan pada UUD 1945 sudah lebih aplikatif. ”Hal ini dikarenakan akan dilaksanakan oleh negara, jadi harus lebih aplikatif. Oleh karenanya pembukaan pada sebuah UUD harus mempunyai nilai normatif dan intruktif,” tegasnya.
Terkait dengan pertanyaan peserta tentang adanya perubahan pada Pancasila, Harjono mengatakan bahwa ada satu hal yang kita tidak bisa menolak, mau tidak mau kita harus melaksanakannya yaitu perubahan. Kalau suatu perubahan itu sudah menjadi suatu keniscayaan, kata Harjono, kenapa persoalan perubahan itu tidak dihitung dalam persoalan Pancasila ini? ”Pancasila bukanlah kenangan masalah-masalah yang menarik, bukan juga nostalgia, tetapi Pancasila harus kita yakini bisa menerapkan dalam perubahan-perubahan yang ada,” terangnya.
Sedangkan terkait dengan makna dari Pancasila yaitu gotong royong, kata Harjono, karena di dalam Pancasila ada unsur orang lain dan ada unsur kehendak bersama untuk melakukan sesuatu, maka di gotong royong, yang bisa dikatakan sebagai induk Pancasila, ada eksistensi individu. Kalau tidak ada eksistensi individu itu namanya kerja paksa. ”Jadi yang harus tetap kita kembangkan adalah tetap menghargai individu, tetapi juga individu-individu yang berkarya untuk kebaikan bersama,” pintanya.
Selain Hakim Konstitusi Harjono, narasumber lainnya adalah Guru Besar Universitas Padjadjaran Sunaryati Hartono, dan Kepala BPHN Wicipto Setiadi, serta dihadiri sekitar ratusan peserta yang terdiri dari kalangan LSM dan akademisi dari berbagai universitas di Indonesia.
Wicipto Setiadi selaku narasumber kedua mengatakan bahwa dengan menyitir Sunaryati, ia mengatakan bahwa akibat dari amandemen UUD 1945 yang terlalu menekankan kepada HAM dan mengarah pada hak-hak individu, maka nilai Pancasila mengalami kendala-kendala untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara narasumber yang terakhir Sunaryati Hartono mengatakana bahwa dia merasa bersukur masalah Pancasila bisa muncul kembali ke permukaan. Akan tetapi setelah muncul, ternyata makin jauh dengan Pancasila itu sendiri, misalnya setiap hari kita mendapatkan informasi adanya tawuran dan demonstrasi. Selain itu, kata Sunaryati, terjadi perubahan watak orang Indonesia. ”Kalau melihat zaman dahulu Indonesia itu bangsa yang lemah lembut, tetapi sekarang menjadi bangsa yang paling beringas,” jelasnya. (Shohibul Umam/mh)