Dana perimbangan yang dilakukan Pemerintahan Pusat kepada Pemerintahan Daerah terdiri dari dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus yang secara keseluruan dana tersebut dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan vertikal antara pusat dan daerah. Demikian disampaikan oleh Ahli dari Pemerintah, Robert A. Simanjuntak, dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara nomor 44/PUU-IX/2011 dengan agenda Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemerintah, Selasa (4/10).
Para Pemohon dalam perkara tersebut, yaitu Zulkifli Muhadli, Hein Nomotomo, Abdul Muis, Anwar Hafid, dan Willy M. Yoseph mendalilkan bahwa Pasal 160 ayat (2) huruf c UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 11 Ayat (2) huruf c UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Kemudian Pasal 31C Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan bertentangan UUD 1945 khususnya Pasal 18A Ayat (1) dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945
Lebih lanjut Robert mengatakan bahwa munculnya berbagai konsekuensi dikuasainya sumber-sumber penerimaan negara yang potensial oleh Pemeritah Pusat disebabkan untuk menyelesaikan ketimpangan horizontal atau ketimpangan antar-daerah. ”Oleh karena itu, ketiga komponen dana perimbangan tersebut boleh dikatakan merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi,” tandas Robert.
Selama hampir 11 tahun, kata Robert, pelaksanaan disentralisasi yang ada di Indonesia, Dana Alokasi Umum (DAU) selalu menjadi komponen yang dominan dalam dana perimbangan yaitu sekitar 2/3%, meskipun ada kecenderungan porsinya menurun. Kemudian dana bagi hasil sekitar 25%-28%. ”Dan, sisanya adalah dana alokasi khusus walaupun jumlahnya relatif kecil tetapi cenderung meningkat,” ungkapnya.
Robert juga menyampaikan bahwa berdasarakan amanat UUD 1945, NKRI dibagi atas provinsi, kabupaten/kota, dan masing-masing daerah mempunyai pemerintahan sendiri. Dalam konteks negara kesatuan, Pemerintahan Nasional dibentuk terlebih dahulu sebelum dibentuk Pemerintahan daerah. ”Dengan demikian, urusan pemerintahan diselenggarakan oleh Pemerintahan Pusat, Provinsi, dan Kabupatan/Kota. Masing-masing pemerintahan mempunyai pemerintahan sendiri namun tanggung jawab akhir dalam urusan tersebut tetap berada pada Pemerintahan Pusat,” jelasnya.
Robert juga mengatakan bahwa dalam Pasal 18A Ayat 2 UUD 1945 sudah mengamanatkan bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Robert, pengaturan antara hubungan keuangan Pemerintahan Pusat dan Pemeritahan Daerah menyakup dalam pemberian kewenangan terhadap pengenaan pajak dan retribusi daerah. Sedangkan pembagian sumber keuangan sudah sesuai dan sejalan dengan pembagian urusan, dan tata cara pusat, serta pengaturan prinsip pengelolahan keuangan daerah. ”Pemberian kewenangan ini, sesuai dengan tanggung jawab urusan pemerintah,” ungkapnya.
Sedangkan Ahli dari Pemerintah yang kedua, Mardiasmo mengatakan bahwa pada Pasal 18A Ayat 2 UUD 1945, secara eksplisit menyatakan secara jelas dan gamblang apa yang dibagi, dan seberapa banyak jumlah yang harus dibagi, serta bagaimana membaginya. Menurutnya, seorang pakar pernah mengatakan bahwa keadilan akan terbayar apabila dalam perumusan pembagian atau pemungutan mencakup unsur pengertian secara jelas terkait dengan pembagian tersebut, dan proses kejadian yang merujuk kepada suatu kriteria formula atau indikator.
Mardiasmo juga mengatakan bahwa hubungan keuangan antara Pemerintahan Pusat harus sesuai dengan Pemerintah Daerah. Di karenakan, katanya, para pakar terbagi dalam dua pendapat. ”Pertama dilihat dari segi politis, peran pemerintahan daerah adalah mewujudkan aspirasi dan identitas masyarakat setempat. Dan kedua, dalam segi ekonomi, Pemerintahan Daerah adalah merupakan lembaga pelayanan yang bermanfaat terhadap daerah,” urainya. (Shohibul Umam/mh)