Komhukum (Jayapura) - Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai kurang hati-hati dalam memberikan putusan yang mengabulkan gugatan Komarudin Watubun sebagai orang asli Papua, agar bisa mencalonkan dirinya sebagai kandidat kepala daerah Papua, dalam pelaksanaan pemilihan mendatang.
Direktur Lembaga Pengkajian Kebijakan Daerah (La-Keda), Lamadi Lamato kepada pers di Jayapura, Rabu (05/10) mengatakan, putusan mengabulkan gugatan itu sudah sangat bertentangan dengan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi provinsi Papua.
"Saya melihat putusan MK terhadap dibolehkannya Komarudin Watubun sebagai orang asli Papua dan maju sebagai calon kepala daerah adalah keputusan yang sangat berbahaya memicu masalah di Papua," ujarnya.
Ia mengatakan, hal tersebut bisa menjadi semacam bom waktu dalam memecah belah situasi kondusif dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah Papua.
"Kita bisa menerima putusan MK dalam mencari solusi bangsa di daerah lain. Tapi, untuk di Papua, MK keliru besar, MK boleh menjadi malaikat penegakan hukum di daerah lain," tuturnya.
Hanya saja terangnya, MK salah meneropong Papua secara objektif sehingga perlu mengubah gaya kerjanya sebelum membuat putusan tentang masalah apapun di Papua. "Di daerah ini, demokrasinya sangat berbeda," ujar Lamadi Lamato.
Lamadi Lamato mencontohkan beberapa putusan MK yang dinilai keliru untuk provinsi Papua, antara lain, mereka pernah menolak Judicial Revieuw UU Otsus pasal 7 tentang pemilihan Gubernur Papua melalui sistem keterwakilan. Padahal usulan pansus Judicial Review itu sangat positif dalam rangka memperkuat lembaga legislatif di Papua.
"Sistem demokrasi di Papua berjalan timpang karena DPR Papua tidak punya ruang meng-impeach Gubernur dan Wakil Gubernur bila keduanya berbuat salah. Bagaimana bisa meng-impeach, kewenangan Dewan hanya mendengar LKPJ (Laporan keterangan Pertanggungan Jawaban) Gubernur. Kalimat 'keterangan' dalam LKPJ jelas maknanya yakni hanya mendengar. Ini jelas produk demokrasi yang keliru. Namun, MK tidak memperhatikan ide positif judicial Review (JR) teman-teman Pansus DPR Papua. Saya ingat betul JR itu ditolak tanggal 3 Maret 2011," paparnya.
Selain itu, katanya, MK juga dinilai kurang hati-hati dalam memutuskan tambahan 11 kursi DPR Papua, sesuai UU Otsus. Sebelas kursi ini tadinya diusulkan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP) tapi ditolak.
"Tapi kenapa diterima dan dikabulkan ketika usulan itu datang dari kelompok organisasi Barisan Merah Putih (BMP)," Tanya Lamadi Lamato.
Ia bahkan dengan berani mengambil kesimpulan dengan melihat persoalan di atas. Kalau putusan MK melihat Papua tidak murni masalah hukum tapi politik yang berbau ketakutan.
Sementara ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib seperti dikutip salah satu koran terbitan Jayapura mengatakan, dikabulkannya permohonan Komarudin Watubun oleh MK dalam amar putusannya, menunjukkan bahwa Komarudin Watubun bukan orang Papua, tetapi hanya karena diakui oleh beberapa suku saja. Atas putusan itu pihaknya sangat kecewa.
"Seharusnya MK menyesuaikan dengan Perdasus, karena Perdasus itu lahir dari kekhususan itu," ujarnya.
Sebelumnya Kamis (29/9), MK mengabulkan gugatan pengujian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2008 yang ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang diajukan David Barangkea dan Komarudin Watubun Tanawani Mora.
Dengan dikabulkanya gugatan ini, seorang calon kepala daerah Papua harus mendapat pengakuan masyarakat hukum adat sebagai suku asli Papua dan bukan kewenangan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang menentukan keabsahan suku bakal calon tersebut.(K-2)