Jakarta, MK Online - Kecanduan seseorang tidak akan berhenti karena pemidanaan, atau dipenjara. Karena, penanganan seorang pecandu hanya bisa ditangani dengan pengobatan atau perawatan secara medis maupun sosial. Demikian dinyatakan oleh Inang Winarso, ahli yang dihadirkan oleh Pemohon perkara nomor 48/PUU-IX/2011 dalam sidang mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli dari Pemohon, Jum’at (30/9) di ruang sidang Pleno MK.
“Ditahan di ujung dunia atau kutub utara sekalipun dampak kecanduannya akan tetap melekat,” tegas Inang. “Ketagihan tersebut tidak bisa dihentikan dengan kerangkeng penjara.”
Jika ditinjau dari sejarah pemidanaan pengguna narkotika, menurut Inang, pemidanaan didasari atas tindakan para pecandu yang menggunakan segala cara untuk mendapatkan narkotika. Dalam hal ini, kecenderungannya adalah dengan melakukan tindakan-tindakan melawan hukum, seperti: mencuri, memeras, dan merampok. Oleh karena itulah, biasanya, kecanduan obat-obatan selalu dikaitkan dengan tindak kejahatan yang merugikan masyarakat.
Padahal, kata Inang, seharusnya dibedakan antara pelaku kejahatan yang disebabkan oleh kecanduan dengan pelaku kejahatan ‘murni’. Untuk para pecandu, seharusnya diberikan pendekatan yang berbeda, yakni melalui pendekatan medis dan sosial, bukan pemidanaan.
Oleh karena itu, ia menegaskan bahwa pemidanaan –dalam bentuk pemenjaraan- bagi pengguna narkotika tidak akan berpengaruh positif terhadap penanganan pengguna narkotika di Indonesia. “Tidak bisa dihentikan dengan rantai atau penjara,” ingatnya.
Semestinya, lanjut dia, pengguna narkotika diperlakukan sebagai orang sakit yang perlu perhatian dan perawatan oleh masyarakat. Sebab, sebagian besar pengguna mengenal atau bersentuhan pertama kali dengan narkotika diakibatkan oleh ajakan, bujukan, atau bahkan jebakan para pengedar. Jadi bukan karena keinginan atau kesadarannya sendiri.
Selain Inang, hadir pula sebagai saksi, Ricky Gunawan, seorang advokat yang sering melakukan pendampingan hukum bagi para pengguna narkotika. Dalam keterangannya, Ricky menjelaskan tentang pola-pola penindakan yang sering diterapkan oleh penegak hukum kepada para pengguna narkotika.
Menurut Ricky, seharusnya aparat penegak hukum, terutama kepolisian, lebih mengarahkan hukuman bagi pengguna bukan pada pemenjaraan melainkan rehabilitasi. Dan, jika dilihat dari prosedur hukum yang ada, sudah jelas bahwa semestinya ketika dalam proses pemeriksaan, pengguna narkotika ditanyakan dan dilihat riwayat ketergantunganya terlebih dahulu. Karena, jika ada riwayat ketergantungan, maka besar kemungkinan akan dikenai sanksi rehabilitasi.
Bahkan, kata dia, dalam penanganan bagi pengguna narkotika, disamping melalui pendekatan medis, juga kadang melibatkan psikolog. “Untuk meng-assesment,” ujarnya.
Sedangkan untuk perkara 49/PUU-IX/2011, yang juga digelar pada waktu yang bersamaan, batal menghadirkan ahli I Dewa Gede Palguna. “Karena ada upacara adat,” ungkap Kuasa Hukum Pemohon, Wahyudi Jafar, memberikan alasan. Namun, menurut Wahyudi, Palguna tetap akan memberikan keterangan, namun secara tertulis (ad informandum). (Dodi/mh)