Jakarta, MK Online - Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen, Toni Tesar-Frans Sanadi, menguji Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24/2003 sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Nomor 8/2011 tentang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya ke Mahkamah Konstitusi. Sidang pertama perkara nomor 63/PUU-IX/2011 ini digelar, Kamis (29/9) di ruang sidang Panel MK. Mereka didampingi oleh kuasa hukum Andi M. Asrun.
Dalam permohonannya, mereka menganggap, ketentuan tersebut telah merugikan hak konstitusionalnya dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 10 ayat (1) UU 24/2003 tersebut intinya menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Sedangkan dalam UU 8/2011 menyatakan, “Penjelasan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 Ayat (1) Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).”
Pada intinya, Pemohon meminta penafsiran terhadap ketentuan tersebut. Selain itu, Pemohon meminta kepada MK untuk membuka pintu peinjauan kembali terhadap putusan MK. Karena, putusan MK yang bersifat pertama dan terakhir dapat merugikan hak konstitusional seseorang. Faktanya, sebagaimana dialami oleh Pemohon Prinsipal dalam perkara ini.
Adapun kerugian konstitusional Pemohon, ujar Andi, bermula dari dikabulkannya permohonan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) kepala daerah Kab. Kepulauan Yapen dengan nomor perkara 218-219-220-221/PHPU.D-VIII/2010 oleh MK. Dalam putusan tersebut, MK memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kab. Kepulauan Yapen untuk melakukan verifikasi administrasi dan faktual ulang terhadap bakal calon dan melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU).
Namun, setelah dilakukan verifikasi ulang, ternyata Pemohon I dan III dalam perkara tersebut tetap tidak lolos sebagai pasangan calon. Sehingga, yang lolos sebagai pasangan calon hanya delapan pasangan. Dan, jumlah serta komposisinya sama dengan pasangan calon sebelum putusan MK.
Oleh karena itu, Pemohon berpendapat, jika pada intinya putusan MK adalah memberikan hak yang sama kepada Pemohon I dan III dalam perkara itu, namun setelah diverifikasi hasilnya tetap sama, maka PSU pun tak perlu dilaksanakan. “Dengan dia (Pemohon I dan III) tidak bisa ikut maka tidak seharusnya dilanjutkan lagi Pemilukada ulang,” ujar Asrun.
“Karena hanya dengan delapan calon maka komposisi suara akan tetap sama,” Asrun memberikan alasan. “(Hasil) tidak (akan) berubah”.
Asumsi itu, kata dia, juga diperkuat dengan surat KPU Kab. Kepulaun Yapen yang isinya melaporkan bahwa hasil veifikasi ulang sama dengan pasangan calon sebelumnya, yakni hanya meloloskan delapan pasangan calon.
Ia juga berpendapat, Putusan MK tersebut masih setengah-setengah. Sebab, MK hanya membatalkan Berita Acara Rekapitulasi Suara saja, sedangkan Keputusan KPU tentang calon terpilih tidak dibatalkan oleh MK. “Putusan Mahkamah ini adalah putusan yang ‘pincang’,” tegasnya.
Pada prinsipnya, Pemohon dalam perkara ini menganggap pihaknya dirugikan jika tidak ada peninjauan kembali terhadap putusan MK, khususnya terhadap putusan MK No. 218-219-220-221/PHPU.D-VIII/2010.
Setelah mendengarkan paparan Pemohon, Panel Hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi pun mengajukan beberapa pertanyaan dan saran perbaikan. Para Hakim memandang, argumentasi Pemohon masih belum kuat dan alasan-alasan permohonan masih didominasi kasus konkrit, bukan persoalan norma dalam UU MK. (Dodi/mh)