Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Iwan Kurniawan mengenai pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) dan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP). Putusan Nomor 17/PUU-IX/2011 ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh tujuh hakim konstitusi, pada Kamis (29/9), di Ruang Sidang Pleno MK.
“Menyatakan mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Pasal 109 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 109 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya,” ucap Mahfud membacakan amar putusan.
Dalam pendapat Mahkamah, salah satu hakim konstitusi mengemukakan ketentuan Pasal 109 ayat (3) Undang-Undang a quo secara substansial telah berubah dengan adanya Pasal 51A ayat (2) UU 51/2009 yang menyatakan, “Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan diucapkan”, walaupun Pasal 109 ayat (3) UU PTUN secara formil tidak diubah. Karena Pasal 109 ayat (3) UU PTUN tidak diubah, sedangkan Pasal 51A ayat (2) UU 51/2009 secara substansi telah mengatur secara berbeda maka jika kedua pasal ini dipertahankan maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Apabila Pasal 109 ayat (3) UU PTUN tetap diberlakukan maka ketentuan Pasal 51A ayat (2) UU 51/2009 tidak akan ada artinya. Untuk menghindari ketidakpasian hukum tersebut maka diberlakukan asas lex posteriori derogat lex priori (anteriori).
“Artinya, Pasal 109 ayat (3) UU PTUN sebagai lex posteriori yang telah ada lebih dahulu dinyatakan tidak berlaku dengan adanya ketentuan baru Pasal 51A ayat (2) UU 51/2009 sebagai lex priori (anteriori). Adapun pengujian Pasal 109 ayat (3) Undang-Undang a quo terhadap Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, menurut Mahkamah, tidak ada kaitannya sama sekali karena Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 adalah mengatur mengenai affirmative action. Dengan demikian, dalil Pemohon sepanjang pengujian Pasal 109 ayat (3) UU PTUN terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 beralasan menurut hukum,” urai salah satu hakim konstitusi.
Sementara dalil Pemohon mengenai ketentuan Pasal 1 angka 3 UU PTUN telah merugikan hak konstitusional Pemohon, Mahkamah berpendapat Pemohon telah merujuk pada pasal yang tidak lagi berlaku dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. UU PTUN telah diubah dua kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Pasal 1 UU PTUN telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. “Pengertian “Keputusan Tata Usaha Negara” sebagaimana diatur pada Pasal 1 angka 3 UU PTUN mengalami perubahan menjadi Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, sehingga dalil Pemohon yang meminta Mahkamah untuk membatalkan Pasal 1 angka 3 UU PTUN yang mengatur mengenai pengertian ‘Keputusan Tata Usaha Negara’ adalah tidak tepat karena adanya kesalahan mengenai objek permohonan,” jelas salah satu hakim konstitusi.
Kemudian, Pemohon mendalilkan Pasal 226 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Terhadap dalil Pemohon, menurut Mahkamah kekuasaan kehakiman memiliki asas untuk menyelenggarakan peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan yang diadopsi dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, namun pada praktiknya, penerapan prinsip peradilan tersebut tidaklah sama. “Oleh sebab itu, ketentuan Pasal 226 ayat (1) KUHAP yang menetapkan, ‘Petikan surat putusan pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya segera setelah putusan diucapkan’ merupakan kebijakan hukum yang bersifat terbuka (opened legal policy) dari pembentuk Undang-Undang berdasarkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta kepentingan para pencari keadilan. Dengan demikian permohonan Pemohon tidak beralasan hukum,” tandas salah satu hakim konstitusi. (Lulu Anjarsari/mh)