Yusril Gugat UU Keimigrasian
Selasa, 04 Oktober 2011
| 09:15 WIB
Mahkamah Konstitusi menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan pengujian UU No.6/2011 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian) - Perkara No.64/PUU-IX/2011 - pada Kamis (29/9) siang di Ruang Sidang Panel MK. Pemohon adalah Yusril Ihza Mahendra, yang mengajukan permohonan untuk menguji Pasal 97 Keimigrasian terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945.
Pemohon memohon Majelis Hakim untuk melakukan pengujian terhadap Pasal 97 ayat (1) Keimigrasian terkait dengan kewenangan beberapa penyelenggara negara untuk mencegah seseorang dan memperpanjang pencegahan itu dengan berdasarkan alasan tertentu, untuk bepergian ke luar negeri atau “meninggalkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
“Selengkapnya Pasal 97 ayat (1) UU No.6/2011 berbunyi, ‘Jangka waktu pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan’,” ungkap Yusril.
Pemohon menganggap, dengan berlakunya norma dalam Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian yang menyatakan “Jangka waktu pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan setiap kali dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan”, maka hak-hak konstitusional Pemohon telah dirugikan. Norma ini terkait dengan ketentuan-ketentuan sebelumnya dalam Bab X UU No.6/2011 yang khusus mengatur “Pencegahan dan Penangkalan” yang memberikan kewenangan kepada beberapa penyelenggara negara, antara lain Jaksa Agung, untuk mencegah seseorang meninggalkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan alasan tertentu.
Ketika mengajukan pengujian UU tersebut, Pemohon terkena pencegahan untuk meninggalkan wilayah NKRI selama 6 (enam) bulan berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No: Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2011 tentang “Pencegahan Dalam Perkara Pidana”. Alasan utama pencegahan terhadap Pemohon, sebagaiman tertuang dalam konsideran keputusan dimaksud adalah “untuk kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan”, karena Pemohon diduga terlibat dalam perkara pidana dan telah dinyatakan sebagai tersangka sejak 24 Juni 2010.
Sebelum terbitnya Keputusan Jaksa Agung RI No: Kep-201/D/Dsp.3/06/2011, maka Jaksa Agung sebelumnya telah menerbitkan Keputusan No: Kep-212/D/Dsp.3/06/2010 tanggal 25 Juni 2010 tentang “Pencegahan dalam perkara pidana” yang diktumnya mencegah Pemohon untuk meninggalkan wilayah NKRI selama 1 (satu) tahun dengan alasan sama yaitu untuk “kepentingan operasi yustisi di bidang penyidikan”.
Pemohon kemudian melakukan perlawanan atas Keputusan Jaksa Agung itu dengan cara menggugat ke PTUN Jakarta. Wakil Jaksa Agung Darmono pada mulanya bersikeras bahwa keputusan yang dikeluarkan Jaksa Agung yang menggunakan undang-undang yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku itu, sebagai “keputusan yang sah dan sudah benar”. Keputusan Jaksa Agung tersebut menimbulkan polemik antara Pemohon dengan jajaran Kejaksaan Agung, Menteri Hukum dan HAM maupun beberapa pejabat Dirjen Imigrasi, Kementerian Hukum dan HAM.
Namun ketika gugatan telah didaftarkan di PTUN Jakarta, Jaksa Agung tiba-tiba mencabut Keputusan No.195/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 24 Juni 2011 dan menerbitkan Keputusan Pencegahan yang baru yakni Keputusan No: Kep-201/D/Dsp.3/06/2011 tanggal 27 Juni 2001. Diktum Keputusan ini intinya mencegah Pemohon untuk meninggalkan wilayah NKRI selama 6 (enam) bulan, sesuai jangka waktu maksimum yang diberikan oleh Pasal 97 ayat (1) UU No.6/2011.
Pemohon menganggap alasan Jaksa Agung memperpanjang pencegahan terhadap Pemohon karena “operasi yustisi di bidang penyidikan” sebagai alasan yang mengada-ada, patut diduga merupakan tindak sengaja dan sewenang-wenang serta mengandung motif politik untuk melenyapkan hak-hak konstitusional Pemohon yang berhak dan bebas meninggalkan wilayah NKRI kapan saja Pemohon menghendaki.
Berdasarkan berbagai argumentasi yuridis yang telah dikemukakan tersebut, Pemohon berkesimpulan bahwa norma undang-undang yang diatur dalam Pasal 97 ayat (1) UU Keimigrasian bertentangan dengan norma konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28E Ayat (1) UUD 1945. (Nano Tresna A./mh)