Sidang lanjutan terhadap pemilihan umum kepala daerah Kota Pekanbaru, Riau, kembali digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (27/9), di Ruang Sidang Pleno MK. Dalam sidang mendengarkan tanggapan Pemohon atas laporan KPU Kota Pekanbaru mengenai pelaksanaan putusan sela MK Nomor 63/PHPU.D-IX/2011, pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota Pekanbaru Tahun 2011 Septina – Erizal Muluk selaku Pemohon diwakili oleh kuasa hukumnya, Bambang Widjojanto, dkk.
Dalam tanggapannya, Pemohon menilai hak konstitusionalnya paling dirugikan dengan tidak dilaksanakannya Pemungutan Suara Ulang (PSU) oleh KPU Kota Pekanbaru. Pemohon berpendapat mantan Walikota Pekanbaru Herman Abdullah memang tidak pernah menganggarkan dana pada APBD Kota Pekanbaru untuk pelaksanaan PSU Pemilukada Kota Pekanbaru. “Ada upaya black campaign (kampanye hitam) untuk mendelegitimasi putusan MK dengan melaporkan ke Mabes Polri adanya mafia hukum di Mahkamah Konstitusi. Kemudian Pihak terkait memiliki agenda tersembunyi berkaitan dengan adanya isu korupsi dan identitas palsu yang terbongkar pascapemilukada Kota Pekanbaru berlangsung,” urai Bambang.
Sementara itu, menanggapi alasan defisitnya APBD Kota Pekanbaru sehingga tidak bisa terlaksananya PSU Pemilukada Kota Pekanbaru, Perwakilan Kementerian Dalam Negeri Syarifudin mengungkapkan untuk penyelenggaraan PSU menjadi prioritas dalam menganggarkan APBD di setiap daerah. Menurut Syarifudin, jika suatu daerah akan melakukan perubahan APBD, hal tersebut dapat dilakukan melalui proses rasionalisasi dan efisiensi. “Setiap daerah harus mengutamakan prioritas pelayanan kepada masyarakat dalam APBD, seperti kesehatan, pendidikan juga termasuk pelaksanaan keputusan MK. Perubahan APBD masih dapat dilakukan hingga tiga bulan sebelum anggaran akhir tahun berakhir,” jelasnya.
Dalam sidang sebelumnya yang berlangsung pada Kamis (22/9), Pejabat Walikota Pekanbaru Syamsul Rizal mengungkapkan bahwa tidak dapat dilaksanakannya PSU pemilukada Kota Pekanbaru dikarenakan adanya defisit sebesar Rp 80 M dalam APBD Kota Pekanbaru tahun 2011. Hal tersebut dianggap oleh Pihak Terkait (Firdaus – Ayat Cahyadi) dan Pemohon telah merugikan hak konstitusional Pemohon.
MK Klarifikasi Isu Suap
Pada sidang panel yang dihadiri oleh empat hakim panel yang terdiri dari Ketua MK Moh. Mahfud MD, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Muhammad Alim dan Anwar Usman, mengklarifikasi isu suap di Mahkamah Konstitusi. Menurut Mahfud, ia mengetahui telah beredar adanya isu suap kepada hakim konstitusi. “Isu suap itu sudah lama saya dengar, Ketua MK telah disuap. Isu itu dari monyet-monyet. Kenapa saya bilang monyet? Karena tidak ada manusianya, makanya saya sebut monyet-monyet. Kalau ada manusianya, coba berani maju. Orang ngomong nggak karuan begitu kaya kentut,” jelasnya.
Hal serupa ditegaskan Mahfud dalam sidang sebelumnya yang mempersilakan kepada pers untuk menuliskan isu mengenai penyuapan terhadap hakim konstitusi maupun panitera MK. Akan tetapi, jika ada penyebutan nama dalam tulisan tersebut, ia baru akan menindaklanjuti isu tersebut ke jalur hukum. Hal ini disampaikan oleh Mahfud ketika membuka sidang panel perselisihan umum kepala daerah (Pemilukada) Pekanbaru, Riau, pada Kamis (22/9), di Gedung MK.
"Banyak LSM yang mau menyampaikan data informasi (Pemilukada Pekanbaru), tapi semua saya jawab tidak boleh menyampaikan informasi kepada hakim (konstitusi) di luar sidang untuk laporan resmi. Pers juga mengkonfirmasikan beberapa isu, saya bilang, ’tulis apa saja yang anda tahu. Misalnya ada hakim yang disuap atau panitera yang disuap, tulis saja di koran. Cuma nanti kalau sudah ada nama yang disebut dalam tulisan itu, apakah pemberi atau penerima, baru nanti hukum bermain. Biar praktis, tidak berdebat kusir melalui forum-forum di luar persidangan," ujar Mahfud. (Lulu Anjarsari/mh)