Equality before the law yang berarti ‘persamaan di mata hukum’ harus dimaknai sama secara operasional, bukan hanya secara konseptual. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki ketika menjadi pembicara dalam temu wicara "Pendidikan Pancasila, Konstitusi, dan Hukum Acara MK bagi Guru-guru Pendidikan Kewarganegaraan Se-Indonesia" pada Minggu (25/9), di Hotel Borobudur, Jakarta.
"Persamaan hukum harus mengandung arti hukum tidak membeda-bedakan. Namun demikian kesamaan dimuka hukum, tidak ada gunanya selama perbedaan dalam tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi di masyarakat masih cukup lebar," urai Sodiki di hadapan 200 guru Pendidikan Kewarganegaraan se-Indonesia.
Dalam kesempatan itu, Sodiki juga mengungkapkan hukum haruslah memanusiakan manusia. Hal ini terkait dengan pemilihan umum kepala daerah yang menjadi perkara terbanyak ditangani MK. Menurut Sodiki, seharusnya konteks pemilu harus diartikan sebagai suatu cara untuk memilih yang baik dengan cara-cara yang berbudaya, tidak melalui dengan cara-cara kekerasan baik berupa intimidasi maupun mobilisasi dengan ancaman. “Harus diberi kewenangan pada masing-masing orang untuk memilih pilihannya masing-masing. Ini proses cara yang lebih manusiawi dan memanusiakan manusia. Namun, banyak yang melakukan cara dengan kekerasan mirip dengan perilaku kebinatangan. MK tidak mentolerir hal-hal semacam ini. MK tidak merelakan cara-cara seperti itu untuk dijadikan sesuatu yang benar. Oleh karena itu, ketika MK hanya diberi kewenangan hanya sebatas sampai penghitungan suara, maka hal ini menjadi beban bagi MK. Jangan heran jika MK menerobos hukum. Semua demi keadilan,” jelasnya.
Selain itu, Sodiki juga memaparkan bahwa MK tidak terpancang terus melihat bunyi undang-undang. MK, terang Sodiki, juga melihat melalui hati nurani. Menurut Sodiki, batasan tolerir MK dalam melihat pelanggaran pemilu, jika pelanggaran itu terjadi sedemikian rupa sehingga hukum kehilangan daya ikat dan hanya mengedepankan kekuasaan saja.
“Untuk itu, MK wajib menggali dan mengikuti nilai yang hidup di masyarakat. Itu merupakan ruang gerak kami (Hakim MK, red.). Jika kami terbelenggu kepada undang-undang, maka keadilan tidak bisa dicapai. Kami tetap berpedoman pada undang-undang, tapi untuk kasus tertentu yang membahayakan demokrasi, tidak akan kami tolerir. Kami akan melakukan terobosan hukum,” terangnya. (Lulu Anjarjari/mh)