Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Achmad Sodiki menjadi pembicara dalam acara Seminar Hukum dan Konstitusi yang diselenggarakan Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, Sabtu (24/9) kemarin, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Ketua KPU Abdul hafiz Anshari, dan dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat Muhammad Efendi turut hadir sebagai pembicara acara tersebut.
Sodiki mengatakan, terkait peran MK selama ini bahwa keberadaan undang-undang yang ada tidak dapat meng-cover semua permasalahan yang dihadapi lembaga ini. Oleh sebab itu, MK sering kali melakukan terobosan-terobosan hukum untuk mengatasi permasalahan yang dihadapinya itu.
Dalam pemaparannya, Sodiki membagi permasalahan pemilukada dalam tiga bagian, yaitu awal tahapan pemilukada, proses dan hasil pemilukada. Dalam menjalankan wewenangnya menangani sengketa pemilukada, MK tidak hanya menangani hasil penghitungan suara, namun juga menangani proses. “Karena proses mempengaruhi hasil dari pemilukada” ujar Sodiki.
Bahkan berdasar putusan MK dalam beberapa sengketa pemilukada, MK mengadili masalah penetapan pasangan calon, karena penetapan pasangan calon tersebut bermasalah, baik pasangan calon independen maupun pasangan calon yang diusung oleh partai politik. Seharusnya demokrasi mengajari kita untuk jujur dan demokrasi saat ini seharusnya dapat memberikan contoh yang baik bagi generasi yang akan datang. Jika pelaksanaan demokrasi diwarnai dengan ketidak jujuran, terang Sodiki, lantas apa yang dapat kita wariskan kepada generasi mendatang.
Terhadap proses pemilukada, ia menerangkan ada pelanggaran yang dapat ditoleransi dan tidak. Pelanggaran terstruktur sistematis dan masif merupakan pelanggaran yang tidak dapat ditoleransi, meski hal tersebut hanya terjadi di satu kecamatan. Namun jika berpengaruh pada hasil, maka MK akan memberikan keputusan terhadap satu kecamatan tersebut. “Namun harus diakui, seluruh pemilukada di Indonesia tidak lepas dari pelanggaran-pelanggaran, meski sifatnya sporadis. Sejatinya demokrasi adalah sarana untuk membentuk masyarakat yang beradab, karena demokrasi menjinakkan cara-cara kekerasan untuk mencapai kekuasaan. Dan membiarkan kekerasan dalam pemilukada, sama saja membiarkan ketidak beradaban,“ lanjut Sodiki.
Tehadap beberapa pertanyaan yang muncul dalam sesi tanya jawab, Guru Besar Ilmu Hukum FH Universitas Brawijaya Malang ini menjawab pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya. Mengenai pelanggaran terstruktur sistematis dan masif yang terjadi di Kotawaringin Barat, ia menegaskan, bangsa Indonesia tentu tidak akan rela jika kepala daerah yang berperilaku curang terpilih dengan menggunakan cara-cara yang keji, karena berbicara perkara tersebut tidak hanya bicara rasionalitas. Bagi hakim konstitusi, hasil pemilukada tidak memberikan keuntungan apa-apa. Ahmad Sodiki juga menambahkan, MK membuat keputusan berdasar apa yang ada dalam persidangan, bukan berdasar hal-hal yang muncul dari luar persidangan, maka setiap keputusan MK terhadap sengketa pemilukada berdasarkan proses persidangan.
Masalah ultra petita dalam sengketa pemilukada yang dipermasalahkan beberapa pihak, MK berpijak pada undang-undang, dimana hakim dan hakim konstitusi diperintahkan untuk menggali nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Hal itulah, kata Sodiki yang menjadi landasan Mahkamah dalam memutus pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif serta penggunaan KTP dalam pemilihan umum. “Masalah keputusan MK yang final dan mengikat merupakan perintah Undang-Undang Dasar, maka jika ada yang keberatan dan mempermasalahkan hal tersebut, harus mengubah Undang-Undang Dasar terlebih dahulu,” pungkasnya. (Ilham/mh)