Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Achmad Sodiki menyampaikan orasi ilmiah di hadapan peserta yudisium Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat, 24 September 2011.
Menurut Ahmad Sodiki dalam orasinya bahwa perubahan hukum yang represif menuju hukum yang otonom dan demokratis tergantung perkembangan masyarakat sendiri. Pemilu yang demokratis tidak akan terwujud tanpa hukum yang demokratis. Berbicara aturan pemilihan umum kepala daerah, MK sering kali melakukan pengujian ketentuan yang mengatur pemilihan kepala daerah, karena memang banyak dijumpai pasal-pasal yang multi-tafsir. Termasuk penafsiran batasan waktu penyelesaian sengketa pemilukada yang dipersoalkan.
Permasalahan pemilukada, menurut Sodiki, sangat kompleks, namun yang sering dipermasalahkan adalah masalah Daftar Pemilih Tetap. Masalah anggaran dan daerah pemekaran juga mewarnai permasalahan pemilukada. Mengenai DPT, masalah tersebut sangat fundamental dan sering dipermasalahkan. Akibat permasalahan tersebut, Kementerian Dalam Negeri mengadakan sistem e-KTP untuk mengatasi permasalahan Nomor Induk Kependudukan, antara lain NIK ganda yang selalu dijumpai dalam setiap pemilukada.
Di sisi lain, KPU di daerah sering terjadi tidak dijalankannya rekomendasi Panwaslu dan tindakan aparat dalam menangani pelanggaran yang muncul turut mempengaruhi pemilukada. Dengan berbagai masalah tersebut, putusan MK terhadap sengketa pemilihan umum kepala daerah dapat berbeda-beda. Pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif dapat dilakukan oleh siapa saja baik oleh aparat pemerintah maupun swasta.
Pemilukada yang demokratis adalah pemilikada yang ideal, ujar Ahmad Sodiki, meski sulit untuk diwujudkan, namun semuanya tergantung pada proses. Maka untuk menangani permasalahan-permasalahan tersebut, diperlukan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa. (Ilham/mh)