Jakarta, MK Online - Selain Wakil Ketua MK Achmad Sodiki sebagai pemateri temu wicara "Pendidikan Pancasila, Konstitusi, dan Hukum Acara MK bagi Guru-guru Pendidikan Kewarganegaraan Se-Indonesia" pada Minggu (25/9), di Hotel Borobudur, Jakarta, kesempatan tersebut juga hadir Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar sebagai narasumber yang memaparkan mengenai “Mahkamah Konstitusi: Framework For Court Excellence”.
Dalam kesempatan itu, Janedjri mengungkapkan demokrasi bukanlah segalanya karena terkadang mempunyai cacat bawaan, dengan mendahulukan suara terbanyak. Padahal, lanjut Janedjri, terkadang keadilan tersembunyi bukan pada suara mayoritas, tetapi pada suara minoritas. “Dalam UUD 1945, tercantum bahwa Indonesia merupakan negara hukum, maka artinya Indonesia juga menganut nomokrasi. MK merupakan perwujudan nomokrasi tersebut. Demokrasi bukan segala-galanya, karena kadang-kadang keadilan tersembunyi. Kehadiran MK untuk mengimbangi demokrasi menjadi negara hukum yang demokratis,” jelasnya.
Kemudian, Janedjri menuturkan bahwa hukum harus dapat menjamin integrasi bangsa. Hukum, lanjut Janedjri, tidak boleh memuat isi yang dapat menyebabkan disintegrasi bangsa, maka di sinilah MK juga ikut berperan. Oleh karena itu, menurut Janedjri, demokrasi harus diatur dan dibatasi oleh hukum. “Hukum ditentukan melalui cara-cara demokrasi disandarkan pada Konstitusi tanpa terkecuali. Sebaik apapun Konstitusi dan hukum yang ada, implementasinya ditentukan oleh subjek hukum dan pelakunya,” urainya.
Narasumber
Acara temu wicara antara MK dengan Guru Pendidikan Kewarganegaraan se-Indonesia yang berlangsung selama tiga hari (23 – 25 September 2011) ini diisi dengan narasumber baik dari para hakim konstitusi hingga mantan hakim konstitusi. Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar yang berkesempatan menjadi narasumber mengenai hukum acara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Presiden/Wakil Presiden, Legislatif dan Kepala Daerah memaparkan mengenai cara berperkara di MK termasuk mengenai penyelesaian sengketa hasil pemilu.
Pada Sabtu (24/9), empat hakim konstitusi, yakni Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Anwar Usman dan Hamdan Zoelva juga menjadi narasumber. Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Anwar Usman memaparkan materi tentang hukum acara mengadili sengketa kewenangan antarlembaga negara dan pembubaran partai politik. Sementara, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva memaparkan materi memutus pendapat DPR tentang dugaan pelanggaran hukum oleh Presiden dan Wakil Presiden.
Sedangkan, Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati yang memaparkan materi mengenai hukum acara pengujian undang-undang mengungkapkan independensi hakim konstitusi di MK. Menurut Maria, setiap hakim boleh mempunyai pendapat berbeda. “Kami (Hakim konstitusi,red.) bebas memberikan pendapat dan argumentasi dalam suatu perkara. Hal ini menunjukkan independensi hakim konstitusi. Oleh karena itu, bila dilihat, ada beberapa putusan MK yang di dalamnya ada dissenting opinion ataupun concuring opinion,” jelasnya. (Lulu Anjarsari/mh)