Jakarta, MK Online - Pemerintah beranggapan Pemohon dalam perkara Nomor 3/SKLN-IX/2011 tidak memiliki legal standing. Karena, Pemohon, yang dalam hal ini adalah Bupati Kabupaten Kutai Timur Isran Noor, tidak termasuk dalam lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Demikian dinyatakan oleh perwakilan Pemerintah, Edi Prasojo dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam sidang Mendengarkan Keterangan Termohon dan Ahli, Kamis (22/9) di ruang sidang Pleno MK.
Menurut Edi, Pemohon tidak termasuk dalam para pihak yang dapat mengajukan perkara sengketa kewenangan lembaga negara, terutama dalam Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi. Di mana, ketentuan tersebut menyebutkan, lembaga negara yang dapat menjadi Pemohon atau Termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah: a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR); b. Dewan Perwakilan Daerah (DPD); c. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); d. Presiden; e. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); f. Pemerintahan Daerah (Pemda); atau g. Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Edi berpendapat, Pemohon juga tidak dapat dikualifikasikan sebagai pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan itu. “Karena tidak ada kesesuaian dengan definisi pada perundangan-undangan,” tegasnya.
Selain itu, menurut dia, permohonan Pemohon juga tidak memenuhi persyaratan formil. “Karena secara substansi yang dipermasalahkan Pemohon adalah kewenangan Termohon dalam Undang-Undang Minerba,” ungkapnya. Sebagai Termohon dalam perkara ini adalah Presiden RI c.q Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Untuk diketahui, dalam perkara ini Pemohon mempermasalahkan mengenai tiga hal. Yakni pertama, tentang penetapan wilayah pertambangan seperti yang termaktub dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e dan Pasal 9 ayat (2) UU Minerba. Kedua, tentang penetapan wilayah usaha pertambangan sebagaimana ditentukan pada Pasal 14 ayat (1) UU Minerba. Ketiga, tentang pemberian wewenang oleh UU untuk menetapkan wilayah izin usaha pertambangan.seperti yang diatur dalam pasal 17 ayat (1) UU Minerba.
Sedangkan menanggapi pokok perkara, Pemerintah berpendapat, tidak ada masalah kewenangan dalam perkara ini. Sebab, kewenangan tersebut telah jelas diatur dalam UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
“Bahwa penetapan wilayah pertambangan adalah kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batu bara dilakukan setelah berkoordinasi dengan Pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat RI,” paparnya. Jadi, menurutnya, pada praktiknya aturan tersebut juga telah mengakomodasi kepentingan pemerintah daerah.
Pandangan Pemerintah tersebut juga telah diperkuat oleh dua Ahli yang dihadirkan Pemerintah pada kesempatan yang sama. Mereka adalah Syahrir dan Tatang Sabarudin.
Dalam keterangan ahlinya, mereka berpendapat kewenangan yang dimiliki Pemerintah Pusat melalui ketentuan dalam UU Minerba sebagaimana dipersoalkan oleh Pemohon adalah sudah tepat. Bahkan, aturan tersebut juga telah memberi kepastian hukum dan mengefektifkan pengelolaan wilayah tambang yang tersebar dibeberapa wilayah di Indonesia.
“Betapa urgennya peraturan wilayah tambang ini dilakukan oleh Negara, oleh Pemerintah Pusat,” tutur Syahrir. “Sehingga kepentingan-kepentingan yang bersifat lokal tadi dapat dilihat secara keseluruhan yang ujungnya demi kemakmuran dan kepentingan rakyat banyak.”
Bahkan, ia menilai, jika tidak ada ‘campur tangan’ Pemerintah Pusat dalam pengelolaan wilayah tambang maka dampak buruk yang akan muncul lebih berpotensi terjadi. “Akan terperangkap arogansi Pemerintah Daerah,” katanya.
Tatang menambahkan, UU Minerba juga telah memberikan ruang yang cukup kepada masyarakat, terutama rakyat (pengusaha tambang) kecil. “Undang-Undnag ini sudah memberikan space adanya wilayah pertambangan rakyat,” imbuhnya. Ia juga membenarkan bahwa pada praktiknya penetapan wilayah pertambangan telah melibatkan pemerintah daerah dan DPR RI. (Dodi/mh)