Penunjukan dan/atau penetapan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan telah sesuai dengan amanat konstitusi, terutama Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Karena, secara filosofis, penguasaan kawasan hutan oleh Pamerintah ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Demikian dinyatakan oleh Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Bambang Soepijanto dalam sidang Mendengarkan Keterangan Pemerintah dan Ahli, Rabu (21/9) di ruang sidang Pleno MK. “Pengertian kawasan hutan sebagaiamana dimaksud dalam Undang-Undang Kehutanan merupakan panggilan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan sekaligus penyempurnaan atas definisi UU tentang Kehutanan sebelumnya,” tegasnya.
Apalagi, menurut dia, dalam proses penunjukan dan penetapan kawasan hutan juga telah melibatkan pemerintah daerah sebagai instansi yang berkepentingan dengan wilayah hutan tersebut. Jadi, dalam hal ini, tidak ada pihak yang dirugikan terkait penunjukan dan/atau penetapan kawasan hutan di daerah diseluruh Indonesia. “Tidak dilakukan secara sewenang-wenang,” tegasnya.
Jika penentuan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan, maka kesepakatan terkait penunjukan dan/atau penetapan kawasan hutan dapat saja diubah melalui mekanisme yang tersedia. Menurut Bambang, penyusunan rencana penatagunaan hutan sebagaimana tertuang dalam Tata Guna Hutan Kesepakatan setidaknya mempertimbangkan lima aspek, yakni: letak dan keadaan hutan; topografi; keadaan dan sifat-sifat tanah; iklim; serta perkembangan masyarakat.
“Jika terdapat hak-hak pihak ketiga, maka akan diselesaikan melalui penataan batas,” ujarnya mengingatkan.
Senada, salah satu Ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah, Herwit Simbolon, mengungkapkan, jika ada ‘tumpang tindih’ antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang diajukan oleh kepala daerah dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan maka akan dilakukan penyelarasan terlebih dahulu. Dalam prosesnya, menurutnya, pengajuan usul dilakukan oleh kepala daerah kepada Dirjen Kehutanan. Kemudian setelah disetujui maka akan disahkan oleh Menteri Pertanian.
Sedangkan Ahli Asep Warlan Yusuf, menuturkan bahwa maksud dari rumusan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan sebagaimana diuji oleh Pemohon adalah sebuah proses yang dimaksudkan untuk mewujdukan kepastian hukum. Menurutnya, penunjukan dilakukan sebelum ditetapkan telah menjamin kepastian status wilayah yang diaggap sebagai kawasan hutan. “Penting dilakukan penunjukan sebagai awal,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa penunjukkan merupakan tahap awal sebelum ditetapkan.
Ia juga mengomentari dalil Pemohon yang menyatakan bahwa rumusan tersebut telah merugikan Pemohon karena menghalangi pemerintah daerah dalam mengelola secara penuh kawasan hutan, Menurutnya, pendapat ini kurang tepat. Karena, secara konseptual maupun praktis masalah penguasaan hutan, setidaknya, haruslah berdasarkan pendekatan ekosistem/ekoregion. “Artinya, penguasaan hutan tidak dapat semata-mata berdsarkan wilayah administratif atau territorial,” tuturnya.
“Yang dimaksud dengan ekosistem/ekoregion adalah bahwa keberadaan dan fungsi hutan harus dilihat pada karakter jenis dan sifat alam,” papar Asep. “Tidak dapat dipaksakan atau dipilah hanya berdasarkan wilayah pemerintahan teritorial saja.”
Menurutnya, keterkaitan antara ekosistem di suatu wilayah dengan wilayah lainnya sangatlah erat hubungannya. Sehingga, pengelolaan kawasan hutan sebaiknya memang dikelola secara nasional oleh pemerintah pusat, tanpa menegasikan peran pemerintah daerah disana.
Untuk diketahui, sebagai Pemohon I dalam perkara Nomor 45/PUU-IX/2011 ini adalah, Muhammad Mawardi, selaku Bupati Kabupaten Kapuas. Selain itu, terdapat enam Pemohon lainnya, yakni Hambit Bintih, Duwel Rawing, Zain Alkim, Ahmad Dirman, dan Akhmad Taufik. Mereka bertindak sebagai perorangan. Untuk sidang selanjutnya, akan digelar Selasa (4/10) siang, di ruang sidang MK. (Dodi)