UU No.38/2008 tentang Ratifikasi atas Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Piagam ASEAN) tidak bertentangan dengan UUD 1945 karena tidak terbukti Piagam ASEAN menjadi sebab terjadinya meningkatnya pengangguran, tidak terserapnya produk dalam negeri, serta kalahnya daya saing nasional. Hal ini disampaikan oleh Erman Rajagukguk selaku Ahli Pemerintah dalam sidang pengujian undang-undang yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (20/9) di Ruang Sidang Pleno MK. Para pemohon perkara ini, di antaranya Perkumpulan Institut Keadilan Sosial, Perkumpulan INFID, Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Petani Indonesia (SPI), Perkumpulan KIARA, Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI), Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care), Asosiasi Pendampingan Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Salamuddin, Dani Setiawan, serta Haris Rusly.
“Menurut data BPS, pengangguran Indonesia malah menurun bukan meningkat. Menurut saya, pengangguran yang sekarang cukup besar akan terus bisa diatasi bila pemerintah bisa menyediakan lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan bisa tumbuh apabila industri dalam negeri kita bisa tumbuh juga. Tumbuhnya industri dalam negeri, saya berpendapat bila Indonesia mempunyai kecukupan modal untuk membangun industrinya dan pasar industri tersebut terbuka akibat perdagangan internasional yang dijalankan Indonesia. Jadi masih adanya pengangguran di Indonesia adalah adanya faktor-faktor dalam negeri kita sendiri yang harus kita perbaiki, bukan karena adanya Perjanjian Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara,” ujar Erman di hadapan Majelis Hakim MK yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD.
Erman juga membantah dalil Pemohon yang menyatakan tidak terserapnya produk dalam negeri dikarenakan piagan ASEAN. Menurut Erman, sebagian produk dalam negeri tidak terserap karena harganya yang tinggi dan pasar luar negeri yang menurun karena adanya krisis ekonomi di benua Amerika dan Eropa. “Harga produk yang tinggi tersebut diakibatkan oleh kelemahan infrastruktur kita, seperti jalan-jalan dan tidak cukupnya tenaga listrik, dan ekonomi biaya tinggi yang saya sebutkan tadi, bukan adanya Perjanjian Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara,” katanya.
Sementara, kalahnya daya saing nasional, Erman menuturkan meningkatnya pengangguran dan harga produk tinggi yang menyebabkan kalahnya daya saing nasional, bukan karena adanya Piagam ASEAN. “Dari sudut Economic Analysis of Law, saya berkesimpulan bahwa menandatangani Charter The Association South East of Nations, penyelenggara dan perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara, dan perjanjian-perjanjian bilateral dengan negara-negara lain di bidang perdagangan luar negeri, lebih banyak manfaatnya daripada mudharatnya bagi ekonomi Indonesia, dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Oleh karena itu, saya berpendapat juga bahwa Undang-Undang Nomor Tahun 2008 tentang Pengesahan a Charter of The Association South East of Nations, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” jelasnya.
Sedangkan Ahli Pemerintah lainnya, Arianto A. Patunru mengemukakan bahwa Piagam ASEAN terjadi dikarenakan ada beberapa isu yang memerlukan kerja sama untuk mengatasinya. Isu-isu utama untuk ASEAN, lanjut Arianto, di antaranya masalah ekonomi, isu migrasi jaringan produksi regional hingga ketahanan pangan dan energi. “Asean perlu lebih melihat ke luar ketimbang ke dalam. Artinya apa? Asean sendiri, 10 negara sekarang, itu integrasinya memang besar ke negara-negara Asia Timur. Jadi kita jangan hanya melihat Aseannya, tetapi Asean sendiri penting untuk bisa koordinasi secara geografis di negara-negara yang saling berdekatan ini untuk bisa memanfaatkan forum yang lebih besar yaitu Asia, atau Asia Timur. Dan ini penting, apalagi sekarang dengan melihat apa yang terjadi di Amerika dan Uni Eropa, sehingga isu-isu seperti social safety nets, misalnya food security, energy security, itu penting untuk dikoordinasikan bersama-sama. Dan Indonesia mempunyai posisi yang sangat penting karena kebetulan Indonesia adalah sekarang pemimpin Asean,” urainya. (Lulu Anjarsari/mh)