Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) melalui sembilan hakim konstitusi mengabulkan permohonan Pemohon dalam perkara pengujian Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (UU Perkebunan), Selasa (19/9). Pasal-pasal UU Perkebunan yang diuji mengenai tindak pidana dalam perkebunan terbukti bertentangan dengan hak setiap orang mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dan bertentangan dengan prinsip negara hukum.
Pemohon menguji Pasal 21 beserta penjelasannya dan Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan yang mengatur perbuatan yang dilarang, yaitu tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan, beserta rumusan ancaman hukumnya.
Permohonan ini diajukan oleh empat orang petani, yaitu Japin, Vitalis Andi, Sakri, dan Ngatimin alias Keling. Pembacaan konklusi dan amar putusan dibacakan langsung oleh Mahfud MD yang kembali terpilih menjabat Ketua MK periode 2011-2014 ini. Mahfud membacakan konklusi Mahkamah bahwa permohonan beralasan menurut hukum. Sebagai warga negara Indonesia, Para Pemohon juga dinyatakan memiliki kedudukan hukum (legal standing). Sedangkan dalam amar putusan Mahkamah, Mahfud membacakan putusan Mahkamah yang mengabulkan permohonan Pemohon. ”Amar Putusan. Mengadili, menyatakan. Mengabulkan permohonan para Pemohon,” ujar Mahfud yang dilanjutkan dengan amar perintah Mahkamah agar memuat putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Dalam pertimbangan hukum Mahkamah, dinyatakan unsur ketentuan pidana Pasal 21 UU Perkebunan ialah: setiap orang; dilarang: melakukan tindakan yang berakibat kerusakan kebun dan/atau aset lainnya; penggunaan tanah perkebunan tanpa izin; dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan. Unsur dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, menurut pendapat Mahkamah merupakan rumusan pasal yang terlalu luas. ”Demikian pula kata-kata aset lainnya tidak memberikan batas yang jelas,” jelas Mahkamah.
Frasa penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dalam Pasal 21 UU dalam Penjelasannya menyatakan, “Yang dimaksud dengan penggunaan tanah perkebunan tanpa izin adalah tindakan okupasi tanah tanpa izin pemilik sesuai dengan peraturan perundang-undangan”, hal ini terang Mahkamah bahwa tindakan okupasi tanah tanpa izin pemilik merupakan peristiwa atau kasus yang sudah terjadi sejak zaman Hindia Belanda.
”Masalah pendudukan tanah tanpa izin pemilik sangatlah beragam sehingga penyelesaiannya seharusnya menurut pertimbangan-pertimbangan keadaan yang berbeda: kapan munculnya persoalan tersebut?; apakah pendudukan tanah tersebut merupakan cara memperoleh tanah menurut hukum adat?; apakah pendudukan tersebut karena keadaan darurat telah diijinkan oleh penguasa?; apakah pendudukan tersebut disebabkan batas wilayah penguasaan secara hukum adat dengan wilayah yang dikuasai langsung oleh negara tidak jelas?” kata Majelis Hakim. Mahkamah berpendapat kasus-kasus yang sekarang timbul di daerah-daerah perkebunan yang baru dibuka, sangat mungkin disebabkan tiadanya batas yang jelas wilayah hak ulayat dan hak individual berdasarkan hukum adat dengan hak-hak baru yang diberikan oleh negara.
Dengan demikian penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud Pasal 47 ayat (2) UU Perkebunan tidak tepat jika hal tersebut dikenakan terhadap orang yang menduduki tanah berdasarkan hukum adat karena timbulnya hak-hak adat adalah atas dasar ipso facto. ”Artinya seseorang membuka, mengerjakan dan memanen hasilnya atas kenyataan bahwa ia telah mengerjakan tanah tersebut secara intensif dalam waktu yang lama, sehingga hubungan seseorang dengan tanah semakin intensif, sebaliknya hubungan tanah dengan hak ulayat semakin lemah.” terang Mahkamah. Mahkamah melanjutkan bahwa adapun pemberian hak-hak baru dalam bentuk hak guna usaha atau hak pakai berdasarkan ipso jure, yaitu berdasar ketentuan perundang-undangan.
Sudah sewajarnya perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat dalam bentuk Undang-Undang segera dapat diwujudkan, agar mampu menolong keadaan hak-hak masyarakat hukum adat yang semakin termarginalisasi. ”Untuk mengatasi persoalan sengketa pemilikan tanah perkebunan yang berhubungan dengan hak ulayat seharusnya negara konsisten dengan Penjelasan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Perkebunan tentang eksistensi masyarakat hukum adat memenuhi lima syarat yaitu (a) masyarakat masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeinshaft) (b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adat (c) ada wilayah hukum adat yang jelas (d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati dan (e) ada pengukuhan dengan peraturan daerah” jelas Mahkamah.
Mahkamah selanjutnya menimbang sebelum dilakukan penelitian untuk memastikan keberadaan masyarakat hukum adat dengan batas wilayahnya yang jelas sebagaimana dimaksud oleh Penjelasan Pasal 9 ayat (2) UU Perkebunan, sulit menentukan siapakah yang melanggar Pasal 21 dan dikenakan pidana Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU Perkebunan.
Frasa ”dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” dalam Pasal 21 UU Perkebunan mengandung ketidakpastian hukum. ”Apakah yang dimaksud dengan tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya perkebunan? Jika disebut tindakan lainnya tentunya sangatlah luas dan tidak terbatas, misalnya dapatkah seseorang dipidana karena terlambat mengucurkan kredit bank yang telah disepakati antara pemilik kebun dengan pihak
bank, sehingga kebun rusak karena tidak adanya uang untuk membeli obat pembasmi hama tanaman? Dapatkah seorang pemilik kebun dipidana karena menelantarkan kebunnya sendiri? Atau justru pemilik kebun menebang pohonpohon karena takut meluasnya hama tanaman sekalipun pohon-pohon tersebut masih sehat ? Hal-hal tersebut dimungkinkan dapat dimasukkan ke dalam “unsur tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya perkebunan” akan tetapi tidak dapat dikualifikasi sebagai perbuatan yang diancam pidana.” kata Mahkamah.
Oleh karenanya, ketidakjelasan rumusan Pasal 21 - yang diikuti dengan ancaman pidana dalam Pasal 47 ayat (1), ayat (2) - menimbulkan ketidakpastian hukum, yang potensial melanggar hak-hak konstitusional warga negara. Mahkamah berpendapat dalil Pemohon beralasan menurut Hukum. Selanjutnya pertimbangan ini juga berlaku untuk permohonan atas penjelasan Pasal 21 UU tersebut.
Terkait ancaman pidana karena kesengajaan melanggar Pasal 21, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) serta karena kelalaiannya melanggar Pasal 21, diancam dengan pidana paling lama 2 (dua) tahun 6 (bulan) dan denda paling banyak Rp.2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah), menurut Mahkamah berlebihan karena konflik yang timbul merupakan sengketa keperdataan yang seharusnya diselesaikan secara keperdataan dengan mengutamakan musyawarah.”Dengan demikian, dalil para Pemohon beralasan menurut hukum” simpul Mahkamah atas pasal ini. (Yusti Nurul Agustin/mh)