Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menyidangkan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah Kab. Tambrauw Tahun 2011, Rabu (14/9). Sidang kali ini dihadirkan dua orang ahli dari Pemohon dan dari Pihak Terkait. Ahli dari Pemohon 90, yaitu Guru Besar Hukum Tatanegara, Saldi Isra. Sedangkan ahli dari Pihak Terkait, yaitu H.A.S Natabaya yang merupakan mantan hakim konstitusi. Keduanya memiliki pendapat yang berbeda mengenai siapa pihak yang dapat berperkara dalam sengketa Pemilukada.
Saldi di awal keterangannya lebih dulu menjelaskan bahwa terdapat tiga poin penting penyebab Pemilu yang demokratis, luber, jujur, dan adil dapat dirusak. Poin pertama yang paling berbahaya menurut Saldi adalah penyelenggara Pemilu yang berpihak dan merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan wewenang. ”Ini biasanya cenderung dilakukan kalau orang yang ikut dalam proses pemilihan punya posisi politik yang kuat. Saya tidak menyebutnya bahwa hanya incumbent saja. Posisi politik itu bisa banyak sumbernya,” jelas Saldi tentang penyalahgunaan wewenang.
Lebih lanjut, Saldi mengatakan selaku penyelenggara Pemilukada, KPU daerah memiliki kewenangan yang sangat besar dalam proses pemilihan di tingkat daerah. Kewenangan yang dimiliki KPU itu menurut Saldi berpotensi disalahgunakan terlebih bila tidak diikuti dengan pengawasan yang ketat terhadap kewenangan yang besar itu.
Soal legal standing Pemohon 90, Saldi mengatakan MK dari waktu ke waktu telah memberikan perluasan terhadap definisi pihak yang mempunyai posisi hukum (legal standing) dalam proses pemilihan kepala daerah. Dalam artian yang mendasar, legal standing diberikan kepada calon yang merasa dicurangi atau suaranya hilang dan segala macam dalam proses penghitungan suara. Namun kini, menurut Saldi, MK telah memberikan ruang kepada para pihak yang tidak diterima sebagai calon kepala daerah asalkan memiliki bukti kuat yang menyatakan bahwa ada upaya sistematis untuk menggagalkan pihak tersebut lolos sebagai calon kepala daerah.
“Dalam kasus Nomor 90 yang kabetulan saya diminta menjadi ahli, saya berpandangan bila proses persidangan membuktikan ada bukti-bukti yang kuat bahwa penyelenggara Pemilu, dalam ini KPUD, dengan sengaja menghilangkan kesempatan pasangan calon untuk ikut maka dalam pandangan Ahli MK berkewajiban memberikan legal standing. MK juga berkewajiban memberikan kesempatan kepada calon itu untuk bisa jadi peserta pemilihan umum kepala daerah. Setidak-tidaknya Mahkamah Konstitusi bisa memerintahkan KPU daerah melakukan verifikasi ulang untuk calon yang digagalkan ini,” tutup Saldi.
Berseberangan dengan Saldi, ahli Pihak Terkait yang juga mantan hakim konstitusi, H. A. S Natabaya mengatakan dalam menyelesaikan sengketa Pemilukada harus mengikuti Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 15 Tahun 2004. di dalam PMK tersebut menurut Natabaya sudah dengan jelas dinyatakan pihak yang berperkara di dalam sengketa Pemilu adalah mereka yang menjadi peserta Pemilu atau Pemilukada. ”Kenapa? Jelas, dari bunyinya saja adalah hasil perselisihan hasil sengketa Pemilukada. Tentu siapa yang menjadi peserta Pemilukada itu,” tegas Natabaya.
Lebih lanjut, Natabaya mengatakan kalau pihak yang tidak ikut Pemilukada menjadi peserta sengketa di dalam perselisihan Pemilukada masih perlu dipertanyakan. Pasalnya, kalai memang terbukti dihalang-halangi seseorang untuk jadi peserta menurut Natabaya ada saluran hukum lainnya yang mengatur. (Yusti Nurul Agustin/mh)