Jakarta - Pengawasan hakim konstitusi menjadi perdebatan panas dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK). Kubu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai hakim konstitusi tetap harus diawasi oleh legislatif, yudikati dan eksekutif.
Namun hakim MK menilai, setelah seseorang menjadi hakim, maka dia sudah lepas dari unsur yang mendukungnya.
Seperti diketahui, 9 hakim konstitusi barasal dari unsur pemerintah, DPR dan Mahkamah Agung (MA), masing- masing 3 orang.
"Diperlukan suatu upaya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran serta perilaku hakim konstitusi. Maka dibentuk Majelis Kehormatan yang anggotanya terdiri dari unsur perwakilan negara seperti MK, KY, DPR, pemerintah dan MA," kata kuasa hukum DPR, Dimyati Natakusmah dalam penjelasan di sidang MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat, (16/9/2011).
Terkait Majelis Kehormatan Adhoc tersebut yang berasal dari 3 unsur, Dimyati beralasan, secara moral ketiga lembaga yang mengajukan hakim konstitusi memiliki tanggung jawab atas perilaku hakim yang diajukan. Sepanjang untuk mengawasi perilaku hakim, tidak cukup alasan bahwa hal ini akan menjadi bentuk intervensi.
"DPR berpendapat bahwa penempatan wakil dari masing-masing lembaga sebagai Majelis Kehormatan untuk menjaga kehormatan perilaku hakim konstitusi," terang Dimyati.
Menanggapi hal ini, hakim konstitusi Harjono mempertanyakan alasan tersebut. Sebab menurutnya, DPR sebagai dewan perwakilan, menjadi aneh memiliki perwakilan lagi.
"DPR kan terdiri dari perwakilan-perwakilan. Maka memiliki sistem pengambilan keputusan, seperti tata tertib dan sebagainya. Kalau hakim konstitusi perwakilan DPR, ini bagaimana," kata Harjono.
Hal serupa juga dipertanyakan oleh hakim konsitusi Muhammad Alim. Menyitir negarawan Amerika Serikat (AS) Abraham Lincon yaitu ketika menjadi negarawan, berakhir sudah hubungan dengan partai atau pemerintah.
Perdebatan ini menyusul judicial review UU Nomor 8/2011 tentang MK yang diajukan oleh ahli hukum tata negara Saldi Isra dan kawan-kawan. "Tidak bisa hakim diintervensi,