Jakarta, MK Online - Perundang-undangan telah mengatur perimbangan keuangan secara adil dan selaras. “Tidak terdapat ketimpangan alokasi antara pusat dan daerah,” tegas perwakilan Pemerintah Marwanto, dalam sidang mendengarkan keterangan Pemerintah dan ahli, Rabu (14/9) di Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Murwanto, setidaknya, hal tersebut telah dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU Perimbangan Keuangan) serta Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana juga diuji oleh Pemohon dalam perkara nomor 44/PUU-IX/2011 ini.
Ia juga berpendapat, tidak diperolehnya dana bagi hasil atas badan oleh daerah, tidak serta merta merugikan hak konstitusional Pemohon. Perolehan dana bagi hasil atas pajak badan oleh Pemerintah Pusat secara penuh, pada dasarnya juga akan kembali kepada kepentingan pembangunan daerah secara nasional. “Untuk memenuhi fungsi-fungsi pemerataan fiskal antar daerah,” katanya.
Selain itu, dampak negatif terhadap kondisi sosial dan lingkungan yang dialami oleh beberapa daerah, terutama daerah para Pemohon, lanjut Murwanto, bukanlah akibat dari tidak diperolehnya dana bagi hasil atas pajak badan. Hal itu terjadi, lanjutnya, lebih dikarenakan aktivitas penambangan oleh perusahaan yang ada di daerah itu. Sedangkan terkait dampak sosial dan lingkungan hidup telah diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Hidup.
Oleh karena itu, ia menyimpulkan, bahwa dalil kerugian Pemohon dengan uji materi yang diajukan tidak terdapat hubungan sebab akibat. Malah sebaliknya, menurutnya, PPh Badan yang dikelola oleh Pemerintah Pusat sangat bermanfaat bagi daerah secara nasional. “PPh Badan digunakan untuk membiayai pembangunan nasional, dan disebar ke seluruh daerah di Indonesia melalui DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus),” tegasnya.
Untuk diketahui, dalam hal ini Pemohon terdiri dari lima kepala daerah yang merasa dirugikan atas berlakunya Pasal 160 ayat (2) huruf c UU Pemda, Pasal 11 ayat (2) huruf c UU Perimbangan Keuangan dan Pasal 31C ayat (1) UU PPh. Mereka adalah Bupati Kabupaten Sumbawa Barat Zulkifli Muhadli, Wakil Bupati Kabupaten Mimika Abdul Muis, Bupati Murung Raya Willy M. Yoseph, Bupati Kabupaten Halmahera Utara Hein Namotemo, dan Bupati Kabupaten Morowali Anwar Hafid.
Adapun Pasal 11 ayat (2) huruf c UU Perimbangan Keuangan tersebut berbunyi, “Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.”
Pada intinya, Pemohon merasa dirugikan atas frasa “orang pribadi” dalam ketentuan tersebut. Karena, dengan berlakunya ketetuan itu, daerah tidak mendapat pajak yang diperoleh dari Badan. Dan akibatnya, menurut Pemohon, kompensasi pendapatan yang diperoleh oleh daerah dengan rusaknya lingkungan dan kondisi sosial yang terjadi tidak seimbang, bahkan tidak adil.
Pada kesempatan yang sama Pemohon juga telah menghadirkan dua ahli, yakni H.A.S Natabaya dan Syahril Machmud. Dalam keterangan ahlinya, pada intinya mereka berpendapat, ketentuan dalam tiga UU yang diuji tersebut telah bertentangan dengan Konstitusi. Sebab, menurut mereka, masih tidak mewujudkan keadilan dan proporsionalitas antara kepentingan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, khsusunya dalam perimbangan keuangan.
“Keadilan itu memperlakukan yang sama secara sama, dan memperlakukan yang tidak sama secara tidak sama,” tegas Natabaya. Menurut dia, seharusnya daerah yang merasakan langsung dampak dari adanya aktivitas ekonomi, terutama oleh perusahaan tambang, mendapatkan dana bagi hasil dari pajak Badan sebagai kompensasi menurunnya kualitas sosial dan lingkungan hidup di daerah itu. (Dodi/mh)