Jakarta, MK Online - Uji materiil Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (UU Keimigrasian) kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa (13/9), di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang dengan nomor perkara 40/PUU-IX/2011 yang dimohonkan oleh tujuh pengacara tersebut beragendakan mendengar jawaban Pemerintah dan DPR. Para pemohon tersebut, yakni Rico Pandeirot, Afrian bondjol, Yulius Irawansyah, Slamet Yuwono, Rachmati, Dewi ekuwi Vina, dan Gusti Made Kartika.
Pemerintah yang diwakili oleh Sekretaris Dirjen Imigrasi Kemenhukham Erwin Aziz menjelaskan penolakan untuk tidak memberangkatkan orang keluar ke wilayah Indonesia dalam rangka penyelidikan seperti yang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian tetap dibutuhkan berdasarkan pertimbangan pejabat yang berwewenang untuk melindungi kepentingan nasional berdasarkan undang-undang. “Anggapan para Pemohon yang menyatakan bahwa dapat terjadi penyelidikan secara sewenang-wenang dan dapat dipandang akan berpotensi merugikan hak konstitusionalnya adalah tidak tepat dan tidak berdasar karena penyelidikan yang sewenang-wenang tidak boleh dilakukan. Jadi kami ulangi, tidak boleh dilakukan karena harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,” jelas Erwin
Selain itu, menurut Erwin, maksud dari ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b UU Keimigrasian bahwa pejabat Imigrasi menolak orang untuk keluar wilayah Indonesia ditujukan pada suatu kepentingan penyelidikan dan penyidikan oleh instansi atau lembaga penegak hukum. “Konteks penolakan tersebut adalah dengan tidak memberangkatkan keluar wilayah Indonesia terhadap orang, setelah adanya permintaan dari pejabat yang berwenang. Jadi, kami garis bawahi sekali lagi, ‘Permintaan dari pejabat yang berwenang’. Yang dimaksud dengan ‘Pejabat yang berwenang’ sebagaimana diatur dalam Pasal 91 ayat (2) Undang-Undang Keimigrasian, terdiri atas: Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepala Badan Narkotika Nasional, atau, Pimpinan Kementerian atau lembaga yang berdasarkan undang-undang memiliki kewenang pencegahan,” ujar Erwin.
Erwin menjelaskan penolakan oleh pejabat imigrasi kepada orang yang akan keluar wilayah Indonesia dilaksanakan dalam konteks pencegahan. Pencegahan yang dilaksanakan, lanjut Erwin, harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti diatur dalam Pasal 94 UU Keimigrasian. “Pertama, harus ditetapkan dengan keputusan tertulis oleh pejabat yang berwenang. Kedua, keputusan tersebut memuat sekurang-kurangnya nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir atau umur, foto yang dikenai pencegahan, alasan pencegahan serta jangka waktu pencegahan. Tidak dipenuhinya kriteria tersebut, menteri dapat menolak permintaan pelaksaan pencegahan yang akan disampaikan kepada pejabat yang berwenang dalam waktu paling lambat 7 hari, sejak tanggal permohonan diterima disertai dengan alasan penolakan,” paparnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHP, terang Erwin, penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang di duga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan, menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidikan di sini harus dilaksanakan berdasarkan surat perintah atau tugas untuk melakukan penyelidikan. “Dikaitkan dengan Pasal 16 ayat (1) huruf b, Undang-Undang Keimigrasian. Sebagaimana yang menjadi pokok permohonan para Pemohon bahwa penyelidikan tidak dapat dilaksanakan secara serta merta tanpa ada surat perintah atau tugas yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dan ditujukan dalam rangka untuk mencari atau menemukan suatu peristiwa yang di duga sebagai tindak pidana,” katanya.
Dalam sidang pleno yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, Pemohon meminta sidang lanjutan dengan menghadirkan saksi, O.C. Kaligis dan mengajukan dua alat bukti. “Baiklah, jadi untuk selanjutnya. Mungkin juga dari pemerintah atau DPR akan mengajukan ahli juga, kita beri kesempatan juga. Ini sidang akan dilanjutkan atau dibuka kembali hari Selasa, 27 September 2011 pukul 11.00 WIB,” terang Sodiki.
Pada intinya, para Pemohon menyatakan sangat keberatan bila seseorang yang masih dalam proses penyelidikan sudah dilarang untuk berpergian ke luar negeri. Pasalnya, para Pemohon menganggap tindakan tersebut merupakan suatu bentuk perampasan kemerdekaan atau suatu bentuk upaya paksa. Pelarangan bepergian ke luar negeri itu juga dianggap bertentangan dengan Pasal 1 butir 5 KUHAP yang berbunyi, ”Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. (Lulu Anjarsari/mh)