Jakarta, MK Online - Pembaharuan Agraria atau Reforma Agraria dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sering kali sangat menarik pada tingkatan abstrak, tetapi justru pada tingkatan implimentasinya menjadi hal yang sebaliknya, yaitu terjadi ketimpangan struktural dan sengketa penguasaan tanah, serta sumber daya alam lainnya. Oleh karena itu, Reforma Agraria di Indonesia dinilai kurang berhasil.
Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Achmad Sodiki dalam orasi ilmiah untuk menyambut HUT Agraria ke-51 dalam acara Seminar Nasional bertema “Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, Implimentasi Reforma Agraria,” di Aula Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI), Jakarta, Rabu (14/9).
Menurut Sodiki, pertanyaan sekarang yang harus dijawab adalah apakah program landreform yang terkandung dalam UUPA itu relevan untuk diterapkan kembali? Menurutnya, sepanjang sejarah Indonesia, para petani yang menjadi tulang punggung sektor agraris, sejak penjajahan, hingga sekarang sebagian besar belum menikmati apa arti kemerdekaan yang sesungguhnya.
Oleh sebab itu, menurutnya, UUPA yang sejatinya mengadung jiwa landreform sebagai bentuk upaya menyejahterakan kehidupan petani, gagal dilaksanakan. Program tersebut, menurutnya, sudah diganti dengan program Revolusi Hijau, tetapi meskipun begitu, petani tetap pada lapisan masyarakat miskin. “Sedangkan sumber daya agraria, yakni tanah dan sumber daya alam lainnya semakin menjadi milik orang kaya,” jelas Sodiki.
Sementara konsep kebijakan yang melatarbelakangi ketimpangan struktural penguasaan tanah dan melahirkan sengketa tanah dan sumber daya lainnya, menurut Sodiki, harus diubah mengarah pada konsep kebijakan yang berorentasi kerakyatan, mengedepankan keadilan, bersifat integratif, berkelanjutan, dan lestari dalam pengelolaannya.
“Kebijakan itu acapkali bukan semata-mata kelemahan pada konsep tersebut, akan tetapi pada sisi implementasinya. Kebijakan itu telah menimbulkan berbagai persoalan Agraria,” jelas Guru Besar Universitas Brawijaya itu.
Di samping menyinggung persoalan yang timbul setelah adanya Reforma Agraria, Sodiki juga menyoroti bagaimana pengolahan sumber daya alam dan lingkungan tersebut tidak hanya mengejar target keberhasilan, tetapi juga sekaligus untuk mengingatkan generasi yang akan datang. Menurutnya, keadilan bagi generasi yang akan datang menuntut the just saving principles yakni asas kebijakan dan implimentasinya atas sumber daya alam dan lingkungan yang berorientasi pada keadilan the future generation.
Setelah melihat persolan-persoalan yang terjadi saat ini, dalam akhir penyampaiannya, Achmad Sodiki mengatakan bahwa Reforma Agraria harus ditempatkan dalam konteks kekinian dan kedisinian. Hal ini disebabkan karena konsep Reforma Agraria sebagaimana digariskan dalam berbagai ketentuan perundang-undangan banyak yang yang perlu ditinjau kembali. ”Karena situasi saat ini, sudah sangat berbeda dengan masa-masa dahulu,” jelasnya.
Dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Bagian Hukum Adminstrasi Negara Fakultas Hukum UKI bekerja sama dengan BPSM UKI Jakarta ini dihadiri sejumlah narasumber, diantaranya Guru Besar Hukum Tanah Universitas Indonesia Arie Sukanti Hutagalung, Praktisi Hukum dan LSM Moctar Pakpahan, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Ganjar Pranomo, dan Wakil Ketua Badan Pertanahan Nasional (BPN) Iwan Taruna Isam sebagai Keynote Speech, serta dihadiri ratusan mahasiswa yang memadati ruangan seminar nasional tersebut. (Shohibul Umam/mh)