Jakarta, MK Online - Gubernur Bengkulu non aktif Agusrin Maryono Najamudin yang mendapat vonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengajukan pengujian terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang permohonan Najamudin yang teregistrasi dengan Nomor 56/PUU-IX/2011 ini mulai digelar pada Jumat (9/9) di Ruang Panel MK. Dalam sidang pertama yang beragendakan pemeriksaan pendahuluan, Najamudin sebagai Pemohon tidak hadir dan hanya diwakili oleh kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra.
Yusril menjelaskan Agusrin M. Najamudin ketika mengajukan permohonan ini berstatus sebagai terdakwa dalam perkara pidana yang telah diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan petitum putusan yang menyatakan putusan tersebut tanggal 24 Mei 2011 yang lalu. Penuntut umum, jelas Yusril, ketika menyatakan memulihkan hak terdakwa dan kemampuan kedudukan dan harkat serta martabatnya berdasarkan ketentuan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP.
“Maka putusan ini final karena Pasal 67 KUHAP jelas menyatakan, bahwa terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan banding. Di dalam kasus yang dihadapi Pemohon, Jaksa (Penutut Umum) memang tidak melakukan banding, namun langsung mengajukan kasasi pada putusan tersebut dan nyata-nyata melanggar ketentuan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP. Menurut penuntut umum berdalih bahwa pengajuan kasasi seperti itu didasarkan atas yurispudensi Mahkamah Agung (MA). Nah, dengan alasan ini maka kami berkeyakinan bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum, lantaran ada hak-hak konstitusional dari Pemohon yang dirugikan, yaitu antara lain di dalam hak-hak yang diatur di dalam Pasal 28I ayat (1) dari Undang-Undang Dasar 1945, khususnya tentang jaminan, keadilan, pengakuan, kesamaan, dan kepastian hukum yang adil,” paparnya.
Yusril menilai pasal-pasal a quo dalam perkembangannya mengalami satu pergeseran penting terutama dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: “(i) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi”. Inilah yang menurut Yusril menjadi permasalahan dalam penerapan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP. “Putusan (Surat Menteri Kehakiman) itu terus-menerus dijadikan acuan oleh banyak sekali putusan-putusan pengadilan sampai sekarang. Maka dia dikategorikan sebagai jurisprudence tetap dari Mahkamah Agung,” jelas Yusril.
Pemohon Beralasan MK Berwenang Uji Yurispudensi MA
Dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki tersebut, Yusril menyadari MK tidak berwenang untuk mengadili Putusan MA yang kini menjadi yurispudensi MA. Akan tetapi, menurut Yusril, sebagai penjaga konstitusi (guardian of constitution), maka setiap putusan MK mempunyai nilai yang setara dengan Undang-Undang Dasar, maka Putusan MA yang menjadi yurisprudensi tetap juga sebenarnya mempunyai kekuatan hukum tetap yang setara dengan undang-undang.
“Oleh karena itu, kami berpendapat Mahkamah Konstitusi dapat menguji yurisprudensi Mahkamah Agung. Kalau sekiranya pandangan kami ini dinilai tidak tepat, tentu kami akan memperbaiki argumen-argumen kami di dalam menyusun argumentasi dari permohonan ini. Mungkin tidak argumen itu, mungkin argumen lain bahwa ketentuan dalam Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP sebagai norma hukum positif yang berlaku adalah konstitusional, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, tetapi berbagai penafsiran muncul mulai dari Surat Menteri Kehakiman,” paparnya.
Wakil Ketua MK Achmad Sodiki yang didampingi oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim dan Anwar Usman sebagai Anggota Hakim Panel memberikan beberapa saran untuk perbaikan permohonan. Sodiki mempersilahkan Pemohon untuk memperbaiki argumentasi mengenai kewenangan MK dalam menguji yurispudensi MA.
“Oleh sebab itu, maka memang seharusnya ada satu argumentasi yang seperti Saudara sanggupkan tadi, di mana Mahkamah ini memang mempunyai wewenang untuk memutus itu. Saudara katakan tadi karena itu menyangkut jurisprudence. Karena perundang-undangan kita juga berhak menguji jurisprudence itu. kemudian kerugian-kerugian konstitusionalnya apa kalau ditafsirkan seperti itu. Seperti yang Saudara sanggupi tadi kami beri kesempatan kepada Saudara untuk melakukan penyempurnaan dari permohonan ini,” urainya.
Sementara, Hakim Konstitusi Muhammad Alim menyarankan agar Pemohon mengajukan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara. “Sebenarnya kalau keputusan menteri kehakiman tahun 1983 ini dianggap bertentanggan dengan undang-undang, dalam hal ini KUHAP mestinya itu ke pengadilan tata usaha negara. Ini ‘kan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, tapi juga sudah lewat waktunya karena sudah sekian lama,” kata Alim. (Lulu Anjarsari)