Jakarta, MK Online - Salah satu ahli yang dihadirkan oleh Pemohon dalam perkara nomor 33/PUU-IX/2011, Margarito Kamis, menegaskan bahwa undang-undang ratifikasi atas Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Piagam ASEAN) yakni Undang-Undang Nomor 38/2008, merupakan objek yang dapat diuji di Mahkamah Konstitusi. “Undang-Undang dalam perkara a quo menurut saya memenuhi syarat untuk dimohonkan pengujian konstitusional sehingga menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadilinya,” tuturnya. Pendapat ini dinyatakan dalam sidang mendengarkan ahli dan saksi, Kamis (8/9), di ruang sidang Pleno MK.
Menurutnya, pewadahan perjanjian internasional kedalam undang-undang merupakan konsekuensi dari rumusan dalam Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, dengan sebelumnya mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Dan, ia mengingatkan, hal ini bukanlah bersifat administratif semata sebagaimana dinyatakan oleh Pemerintah.
Selain itu, ia juga berpendapat, jika ditilik dari original intent perumusan Pasal 11, terutama ayat (2), UUD 1945 maka perjanjian internasional tidak diserahkan secara eksklusif pada cabang kekuasaan tertentu saja, melainkan pada dua cabang kekuasaan, yakni eksekutif (Presiden) dan legislatif (DPR). Hal ini, kata dia, dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa perjanjian internasional merupakan hal yang sangat vital dan berkaitan dengan hak-hak warga negara yang mesti dilindungi. Oleh karena itu, perjanjian internasional yang diratifikasi dalam sebuah UU haruslah dapat melindungi kedaulatan dan menjamin hak-hak warga negara.
Sayangnya, kata Margarito, dengan adanya UU 38/2008, yang terjadi adalah sebaliknya. UU 38/2008 telah “mematikan” hak warga negara untuk mencapai kesejahteraan hidup, terutama terkait hak mengembangkan ekonomi sebagaimana diamanatkan oleh Konstitusi.
Kemudian, Ahli dari Pemohon lainnya, dr. Ario Djatmiko, menerangkan dampak pasar bebas dengan tingginya biaya kesehatan. Menurutnya, pendapat yang menyatakan bahwa dengan adanya persaingan maka akan meningkatkan kualitas, adalah suatu yang tak berlaku dalam kondisi ini. Yang terjadi malah, kata dia, supply yang berlebih. Dan, penawaran yang berlebih akhirnya akan mengakibatkan biaya tinggi (high cost), bukan peningkatan kualitas. Pelayanan dilakukan secara berlebihan dengan biaya tinggi, dan dilakukan berdasarkan ketidaktahuan pasien. “Market anarchy,” katanya mengistilahkan.
Selain menghadirkan dua Ahli, Pemohon juga menghadirkan seorang saksi, yakni Tiharom. Ia mengungkapkan bahwa selama ini pasar bebas tidak berpihak pada rakyat kecil. “Tidak berpihak kepada nelayan dan merusak lingkungan,” katanya. (Dodi/mh)