Jakarta, MK Online - Sidang Pengujian UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi kembali digelar Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (7/9) sore di ruang sidang Panel MK. Agenda sidang adalah perbaikan permohonan mengenai pengujian Pasal 10 ayat (1) UU No.24/2003 mengenai “MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final”. Pemohon yaitu Afloriano Melesen, Iskandar Dabi-Dabi, Junaidi Deni, M. Djan Mangoda, Saima Nuang, Arsad Sardan dan Demianus Ice.
Dalam perbaikan permohonan, Pihak Pemohon menyampaikan bahwa putusan MK No.59/PHPU.D-IX/2011 telah merugikan Pemohon karena melalui putusan a quo telah dirampas hak Pemohon sebagai Bupati dan Wakil Bupati Terpilih Kabupaten Pulau Morotai.
“Terampasnya hak Pemohon sebagai Bupati dan Wakil Bupati Terpilih jelas merupakan kerugian konstitusional yang diderita Pemohon pasca Putusan MK No.59/PHPU.D-IX/2011,” ungkap Pemohon.
Terkait Putusan MK No.59/PHPU.D-IX/2011, menurut Pemohon, telah memunculkan persepsi masyarakat bahwa KPU Kabupaten Pulau Morotai tidak bekerja berdasarkan asas-asas pemilu sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 UU No.22/2007, yaitu penyelenggara pemilu berpedoman pada asas mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggara pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalisme, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Selain itu, kata Pemohon, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menjadikan bukti-bukti hasil rekapitulasi di tingkat TPS, PPK dan Kabupaten sebagai pertimbangan dalam putusan a quo, padahal bukti-bukti a quo diragukan kebenarannya.
Pemohon mengungkapkan juga, munculnya sengketa pemilukada untuk diselesaikan dalam persidangan MK membuktikan dugaan adanya pelanggaran terhadap asas-asas penyelenggaraan pemilu, baik oleh penyelenggara Pemilu di tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota maupun oleh pihak peserta pemilukada itu sendiri.
“Pemeriksaan sengketa pemilukada di MK membuka jalan bagi tercapainya penyelesaian sengketa pemilukada melalui jalur hukum yang diharapkan putusannnya bijaksana dan memberi kepastian hukum,” kata Pemohon.
Di samping itu, ujar Pemohon, tenggat waktu tiga hari untuk mendaftarkan keberatan Pemohon terhadap keputusan KPU tentanga Rekapitulasi Hasil Perolehan Suara sejak tanggal pengumuman rekapitulasi tersebut, sangatlah singkat.
“Sehingga kadang para pihak yang mengajukan sengketa di MK relatif tidak siap untuk mengajukan dokumen-dokumen dan saksi-saksi penunjang pembuktian sengketa,” jelas Pemohon.
Lebih dari itu, lanjut Pemohon, kadang muncul dugaan adanya manipulasi data atau kesaksian palsu dalam persidangan untuk memutus perselisihan pemilu a quo di MK. Oleh karena putusan MK bersifat final serta mengikat, menurut Pemohon, maka bilamana terbukti melalui pemeriksaan peradilan pidana adanya manipulasi bukti dan saksi palsu, maka tertutup sudah upaya para pihak mendapatkan keadilan dan kepastian hukum.
“Oleh karena itu, MK perlu membuka kemungkinan adanya pemeriksaan di tingkat Peninjauan Kembali terhadap putusan MK sebelumnya,” demikian pinta Pemohon kepada Majelis Hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi. (Nano Tresna A.)