Jakarta, MK Online - Ahli dari Pemerintah, Wisnu Aryo Dewanto, seorang tenaga pengajar Hukum Internasional di Fakultas Hukum Universitas Surabaya, menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak berwenang menguji Undang-Undang Nomor 38/2008 tentang Pengesahan Charter of The Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) sebagaimana diajukan oleh Pemohon dalam perkara No. 33/PUU-IX/2011. Hal ini diungkapkan oleh Wisnu dalam sidang mendengarkan keterangan ahli Selasa (23/8) diruang sidang Pleno MK.
“Norma-norma hukum yang ada dalam Piagam ASEAN bukanlah ketentuan yang dapat diuji oleh pengadilan nasional,” tuturnya. “Karena, belum ditransformasikan ke dalam peraturan perundang-undangan nasional.”
Ia juga menegaskan, pembatalan atau penarikan diri suatu Negara dari perjanjian internasional merupakan domain dari hukum internasional, bukan hukum nasional. Malah sebaliknya, kata dia, seharunya perjanjian tersebut dihargai dan dihormati oleh Negara.
Selain itu, menurutnya, pembatalan terhadap UU ratifikasi Piagam ASEAN tersebut juga tidak akan berpengaruh kepada kepentingan rakyat kecil secara langsung. Sebab, Piagam ASEAN tidak mengatur secara langsung hak dan kewajiban masing-masing individu.
Begitu pula ahli lainnya, Prof. Djisman Simanjuntak, ahli Ekonomi Internasional. Ia mengatakan, pada dasarnya tujuan dibentuknya ASEAN didasari oleh semangat perdamaian dan kerja sama. “Maksud utamanya adalah kepentingan perdamaian, bukan semata-mata kepentingan ekonomi,” jelasnya.
Menurutnya, ASEAN merupakan ‘Sangkar Emas’ yang dirancang untuk mengendalikan perilaku opportunistik para politisi. “Dan juga terkadang Negara nasional,” katanya.
Bahkan, dia berpendapat, dampak krisis global dapat diminimalisir ditingkat regional dengan adanya perjanjian-perjanjian regional, salah satunya adalah ASEAN. “terdapat oase-oase stabilitas ditingkat refional,” ucapnya.
Selain Djisman, Pemerintah juga menghadirkan Ahli Ekonomi lainnya, Chatib Basri. Dalam pandangan ahlinya, ia membantah pendapat Pemohon yang menyatakan bahwa dengan adanya pasar global terintegrasi telah berdampak buruk pada kondisi perdagangan dan ekonomi di Indonesia.
Menurutnya, malah sebaliknya nilai ekspor Indonesia ke ASEAN lebih besar dibandingkan nilai impor Indonesia dari ASEAN. Ini artinya, Indonesia mengalami surplus perdagangan. Dengan kata lain, dengan keterlibatan Indonesia di ASEAN telah berdampak positif dalam konteks ekonomi. Ia mendasarkan pendapatnya pada data yang diperolehnya dari Badan Pusat Statistik.
Tidak hanya itu, Chatib menegaskan, jika Indonesia ingin memajukan perekonomiannya, mau tidak mau, Indonesia memang harus masuk kedalam ekonomi global yang terintegrasi. Logikanya sederhanya. Menurutnya, dengan adanya kerja sama maka peluang investasi terbuka lebar, dan dengan masuknya investasi, maka peluang kerja semakin banyak. Bahkan, ia juga memberikan beberapa contoh praktik perdagangan yang telah berlangsung untuk memperkuat pendapatnya itu. (Dodi)