Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi dalam putusannya mengabulkan sebagian permohonan para Pemohon dalam perkara nomor 62/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian UU Nomor 37/2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (ORI) dan UU Nomor 25/2009 tentang Pelayanan Publik terhadap UUD 1945, yang diajukan oleh Ilham Arief Sirajuddin, Walikota Makassar, Selasa (23/8).
Dalam permohonannya, para pemohon mengajukan pengujian Pasal 46 ayat (1), ayat (2) UU ORI dan Pasal 1 angka 13 UU 25/2009 karena dinilai bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2), dan ayat (6), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pasal 46 Ayat (1) UU ORI berbunyi, “Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, nama "Ombudsman" yang telah digunakan sebagai nama institusi, lembaga, badan hukum, terbitan atau lainnya yang bukan merupakan lembaga Ombudsman yang melaksanakan fungsi dan tugas berdasarkan Undang-Undang ini harus diganti dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak mulai berlakunya Undang-Undang ini. Dan, Ayat (2) berbunyi, “Institusi, lembaga, badan hukum, terbitan atau lainnya yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dianggap menggunakan nama "Ombudsman" secara tidak sah.”Sedangkan Pasal 1 angka 13 UU 25/2009 yang berbunyi, “Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh badan usaha rnilik negara, badan usaha milik daerah, dan badan hukum milik negara serta badan swasta, maupun perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah,”
Terhadap dalil inkonstitusionalitas Pasal 46 Ayat (1) UU ORI yang disampaikan oleh para Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa kata “ombudsman" telah mempunyai pengertian umum bahkan telah diterima secara internasional sebagai fungsi independen untuk menerima laporan dan keluhan, menginvestigasi, memberi alternatif penyelesaian atau memberi rekomendasi kebijakan atau penyelesaian atas pengaduan tersebut kepada pihak tertentu. Demikian dikenalnya pengertian ombudsman secara meluas, orang akan cepat paham dengan sebutan ombudsman dibandingkan dengan istilah lain dalam bahasa Indonesia, umpama “lembaga pengaduan masyarakat” yang justru masih memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Menurut Mahkamah, kata ombudsman juga sudah sama dikenalnya dengan kata “lembaga bantuan hukum” yang sudah dengan mudah dipahami maksudnya. Fungsi ombudsman diperlukan untuk banyak hal dan oleh banyak pihak, oleh karenanya apabila terdapat monopoli penggunaan istilah ombudsman akan sangat mengganggu proses komunikasi publik dalam menyampaikan suatu gagasan atau pendapat. Hal demikian akan mengganggu hak berkomunikasi dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat yang dijamin dalam konstitusi.
Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa lembaga ombudsman tidak dapat dimonopoli oleh negara, seperti halnya dalam UU ORI. Oleh karena itu, larangan pembentukan lembaga dengan nama ombudsman oleh suatu lembaga atau organ selain Ombudsman Republik Indonesia tidak sejalan dengan semangat dan perlindungan konstitusional yang dijamin oleh konstitusi yaitu hak untuk mendapat pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum dalam pemerintahan.
Larangan demikian, menurut Mahkamah, juga bertentangan dengan jaminan konstitusi terhadap hak setiap orang untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. Jaminan dan perlindungan tersebut harus juga diberikan kepada setiap lembaga atau institusi untuk membentuk lembaga ombudsman yang menjalankan fungsi independen untuk menerima laporan dan keluhan, menginvestigasi, memberi alternatif penyelesaian atau memberi rekomendasi kebijakan atau penyelesaian atas pengaduan tersebut kepada pihak tertentu.
Sedangkan terhadap dalil para Pemohon terhadap Pasal 1 angka 13 UU 25/2009 yang oleh para Pemohon dinilai bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2), dan ayat (6), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 karena mendudukkan ombudsman sebagai lembaga negara sehingga akan meniadakan keberadaan lembaga ombudsman yang telah dibentuk oleh pemerintah daerah yang bukan merupakan lembaga negara padahal telah menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik di tengah masyarakat telah dipertimbangkan Mahkamah.
Istilah lembaga negara, menurut Mahkamah, tidak harus selalu dikaitkan dengan lembaga negara yang ada di tingkat pemerintah pusat atau yang dibentuk oleh pemerintah pusat berdasarkan UU. Akan tetapi dalam arti luas, segala lembaga, institusi atau organ yang menjalankan fungsi negara, dibentuk oleh negara atau dibentuk oleh lembaga atau organ yang dibentuk oleh negara dapat dikategorikan sebagai lembaga negara.
Dengan demikian, suatu lembaga atau organ disebut lembaga negara tidak harus diberikan status secara expressis verbis oleh UU pembentukannya. Dalam hal ini, harus dibedakan dengan lembaga negara yang berhak mangajukan sengketa kewenangan di Mahkamah Konstitusi yang terbatas hanya pada lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Oleh karena itu, Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada persoalan konstitusionalitas penyebutan ombudsman sebagai lembaga negara sepanjang lembaga ombudsman tersebut dibentuk oleh negara atau oleh organ negara. Dengan demikian, Pasal 1 angka 13 UU 25/2009 hanya berlaku untuk ombudsman yang dibentuk oleh negara atau lembaga pemerintah. Di samping itu, tidak berarti lembaga atau institusi non-pemerintah tidak dapat membentuk lembaga ombudsman untuk melaksanakan fungsi ombudsman demi keperluan dan kebutuhan lembaga yang bersangkutan tanpa harus disebut sebagai lembaga negara (similar appointee in nongovernmental organization).
Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan para Pemohon sepanjang mengenai larangan penggunaan nama “Ombudsman”sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU 37/2008 beralasan menurut hukum. “Mengadili, Menyatakan: Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian; Pasal 46 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4899) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,”ucap Mahfud MD. (Shohibul Umam/mh)