Jakarta, MK Online - Konstitusi menggulirkan semangat otonomi seluas-luasnya bagi daerah. Esensi dari otonomi dalam UUD 1945 adalah kemandirian, kebebasan mengatur dan mengurus sendiri kepentingan masyarakat yang menjadi fungsi pemerintahan sebagai urusan rumah tangga sendiri dalam satu ikatan negara kesatuan.
“Namun, seluas apa otonomi itu diberikan, sangat tergantung pada politik hukum pembentuk undang-undang dan kebijakan pemerintah pusat,” kata Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dalam Seminar dan Pelatihan “Menuju Perda yang Berbasis Kerakyatan dan Bebas Korupsi” yang diselenggarakan Institute for Strategic and Development Studies (ISDS) di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, Jumat (19/8) malam.
Hamdan melanjutkan, melalui UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah, semangat otonomi diterjemahkan sebagai kemandirian dan kebebasan ataupun keleluasaan, walaupun bukan suatu bentuk kebebasan sebuah pemerintahan yang merdeka yang terwujud melalui perimbangan pusat dan daerah.
Dikatakan Hamdan, politik hukum pembangunan daerah yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dan anggota dewan sebagai wakil rakyat, harus ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat, kepentingan rakyat dan kemajuan daerah.
“Perda-perda yang menguntungkan kepentingan pemerintah daerah dan DPRD serta berpotensi menimbulkan korupsi, merupakan contoh penerapan politik hukum pembangunan daerah yang salah,” tegas Hamdan.
Guna mereduksi perda-perda yang demikian, lanjut Hamdan, dalam pembuatan perda sebagai bagian dari pelaksanaan otonomi daerah, harus selalu dilaksanakan melalui tata cara yang demokratis dan mengakomodir partisipasi rakyat daerah dengan mempertimbangkan secara cermat kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Lebih lanjut Hamdan menjelaskan, dalam pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah secara mandiri berhak membuat keputusan hukum berupa peraturan perundang-undangan antara lain dalam bentuk peraturan daerah atau perda.
“Perda sebagai sebuah produk hukum di tingkat daerah merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan untuk mengatur urusan rumah tangga daerah. Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum maupun peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi,” urai Hamdan.
Selain itu, kata Hamdan, perda harus dibentuk berdasarkan asas-asas pembentukan perundang-undangan yang meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumus, keterbukaan.
Sedangkan materi muatan peraturan perundang-undangan mengandung asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhinneka tunggal ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian hukum, keseimbangan, keserasian dan keselarasan. (Nano Tresna A./mh)