Jakara, MK Online - Istilah impeachment dengan pemakzulan merupakan dua istilah yang berbeda. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dalam acara bedah buku "Pemakzulan Presiden di Indonesia" pada Sabtu (13/8), di Universitas As Safi’iyah (UIA), Jakarta.
“Istilah ‘pemakzulan’ baru-baru saja tersosialisasi dibandingkan dengan istilah ‘impeachment’. Padahal impeachment merupakan sebuah proses pemakzulan presiden. Impeacment adalah suatu proses dakwaan yang diajukan oleh cabang legistlatif suatu pemerintahan atau secara hukum, impeachment diterapkan hanya untuk dakwaan. Sementara pemakzulan, lebih kepada meletakkan jabatan atau mengundurkan diri dari jabatannya sampai dengan penyingkiran,” urai Hamdan selaku narasumber di hadapan sejumlah anggota Forum Diskusi Hukum (Fordiskum) UIA.
Hamdan selaku penulis buku tersebut juga memaparkan bahwa pemakzulan diadopsi Amerika Serikat dari Inggris yang kemudian diadopsi oleh Indonesia. Dalam model pemakzulan Inggris yang diadopsi oleh AS, jelas Hamdan, mekanisme dilakukan dalam dua tingkat, yakni DPR (House of Representative) yang menuntut dan mengajukan dakwaan pemakzulan presiden dan senat yang bertindak sebagai pengadilan yang mengadili dan memutuskan.”Di Indonesia, terbagi menjadi tiga tingkat, yakni Proses ini dimulai dari penyelidikan dan penuntutan DPR, pengujian hukum dan konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, serta pengambilan keputusan hukum dan politik final oleh MPR,” urainya.
Menurut Hamdan, bagi negara yang menganut sistem presidensiil, maka mekanisme pemakzulan justru semakin sulit untuk melindungi posisi presiden. “Mempersulit mekanisme pemakzulan presiden dengan persyaratan kuorum sebagai syarat sahnya rapat dan syarat jumlah suara yang diperlukan dalam mengambil keputusan pemakzulan di DPR maupun MPR. Misalnya, kuorum minimal 2/3 serta disetujui paling tidak 2/3 serta disetujui paling tidak 2/3 anggota untuk memutuskan pendapat DPR agar bisa diajukan untuk diperiksa dan diadili MK. Kuorum ¾ dan persetujuan 2/3 anggota MPR untuk memutuskan pemakzulan presiden,” paparnya.
Dengan adanya, pengalaman proses pemakzulan yang dialami Indonesia pada Presiden Soekarno dan Presiden Abdurahman Wahid, Hamdan mengungkapkan pemakzulan di Indonesia harus menerapkan dua hal, yakni legalitas dan konstitusionalitas. Menurut Hamdan, perlu pemahaman prinsip hukum dan juga prinsip peradilan. “Dalam kesimpulan pada buku ini, saya mengungkapkan pemakzulan presiden harus memenuhi dua prinsip sekaligus, yaitu prinsip legalitas/konstitusionalitas dan prinsip legitimasi yang dikenal dengan prinsip legalitas legitimasi,” tandas Hamdan. (Lulu Anjarsari/mh)