Jakarta, MK Online - Guru berperan untuk membangun budaya sadar berkonstitusi. Pengertian sadar berkonstitusi, tidak sekadar mengetahui dan memahami konstitusi, tetapi juga melaksanakan konstitusi itu sendiri. Hal ini bukan menjadi tanggung jawab Mahkamah Konstitusi (MK) semata, tetapi juga menjadi tanggung jawab kita semua, termasuk para guru.
Dalam rangka membangun budaya sadar berkonstitusi itulah, MK melakukan kegiatan-kegiatan di antaranya melalui temu wicara dengan berbagai unsur masyarakat. Misalnya dengan kalangan pendidik, partai politik, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, lembaga negara dan lainnya.
“Selain itu, setiap tahun Mahkamah Konstitusi memberikan Anugerah Konstitusi kepada guru Pendidikan Kewarganegaraan yang berprestasi, bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian Agama,” ujar Sekjen MK Janedjri M. Gaffar kepara para guru SD seluruh pelosok Indonesia di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Minggu (14/8) malam.
Janedjri mengatakan, guru berperan penting sebagai agen perubahan untuk menyebarkan budaya sadar berkonstitusi kepada anak didiknya. Jumlahnya yang besar dari para murid menjadi hal yang potensial untuk membangun budaya sadar berkonstitusi. Lebih dari itu, anak didik diharapkan menjadi pemimpin masa depan dan generasi penerus serta sadar berkonstitusi.
“Konstitusi Indonesia adalah UUD 1945, mengikat seluruh warga negara dan segenap penyelenggara negara. Karena konstitusi bersifat mengikat, maka diperlukan keterlibatan guru untuk mengambil tanggung jawab agar anak didiknya paham konstitusi,” urai Janedjri.
Dikatakan Janedjri, konstitusi memiliki sifat superior karena merupakan hukum dasar sekaligus hukum tertinggi yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Dalam kedudukan sebagai hukum dasar negara dan hukum tertinggi tersebut, konstitusi merupakan pedoman dan pegangan bersama seluruh elemen negara dalam menjaga kelangsungan kehidupan negara.
Lebih lanjut Janedjri menjelaskan, UUD 1945 yang berlaku saat ini merupakan hasil perubahan dari UUD 1945 yang berlaku sebelumnya. Perubahan dilakukan sebanyak empat tahap pada 1999-2002, seiring reformasi politik yang meniscayakan reformasi konstitusi pada 1998 pasca pemerintahan orde baru.
Salah satu latar belakang dilakukan perubahan atau amandemen UUD 145 adalah ‘Kekuasaan tertinggi di tangan MPR’. Karena itu setelah perubahan UUD 1945, pada Pasal 1 Ayat (2) disebutkan bahwa ‘Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD’. Dengan demikian, tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR, seperti termuat pada UUD 1945 sebelum perubahan.
Menurut UUD 1945, lembaga negara dibedakan berdasarkan fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Tidak ada lagi kualifikasi lembaga tertinggi atau lembaga tinggi karena kekuasaan dipisahkan secara fungsional-horizontal yang kekuasaannya sejauh yang ditentukan oleh UUD 1945.
Dalam kesempatan itu, Janedjri menuturkan kisah seorang asal Banyuwangi yang memperjuangkan anggaran pendidikan di APBN. Pada 2006 guru itu datang ke MK untuk mengajukan uji materi UU APBN terkait anggaran pendidikan yang jumlahnya 9,1 persen. Padahal UUD 1945 menegaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya harus 20 pesen dari APBN dan atau APBD. Ternyata perjuangan guru tersebut tidak sia-sia, pada 2008 anggaran pendidikan nasional diubah menjadi 20 persen. (Nano Tresna A./mh)