TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Hakim Konstitusi, Maruarar Sirait, meminta Mahkamah konstitusi (MK), tetap melakukan ultra petita (membuat putusan di luar perkara yang dimohonkan) kendati dalam Undang-undang MK yang baru Nomor 8 Tahun 2011, tercantum larangan MK.
"Ultra petita di seluruh dunia tak ada larangan seperti itu, dan tak UU tak bisa membatasi MK, dimana MK diatur dalam konstitusi," ujar Maruarar yang ditemui wartawan di Gedung MK, Jakarta, Jumat (12/8/2011), siang.
Bila MK dilarang untuk melakukan ultrapetita, menurut Maruarar akan menimbulkan kontradiksi hukum, karena dalam yurisprudensi putusan yang dibuat oleh MK, ada yang memuat ultrapetita. Namun dari itu semua, Maruarar berpendapat, MK dapat menyampingkan isi Undang-undang demi kepentingan publik yang lebih besar, karena dasar kewenangan MK diatur dalam Konstitusi. "MK jalan saja, dan tak mungkinlah MK menerabas semua UU itu bila tak ada alasan yang cukup," ucapnya.
MK menurutnya tidak boleh melakukan ultra petita, apabila ketentuan tersebut diatur dalam Konstitusi. "Kalau mau melakukan pembatasan seperti itu yah di Konstitusi," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, beberapa orang akademisi, mengajukan permohonan uji materi UU MK Nomor 8 Tahun 2011.
Sejumlah akademisi, pada, Jumat (29/7/2011), mengajukan permohonan uji materi Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Guru Besar Universitas Andalas, Profesor Saldi Isra, yang juga menjadi pemohon dalam pengujiaan materi UU MK tersebut, pihaknya merasa terpanggil untuk menggugat UU MK, karena ada beberapa ketentuan yang tercantum dalam UU hasil revisi UU 24 Tahun 2003, berpotensi merusak MK sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang independen.
Salah satu ketentuan yang diujikan meteri oleh pemohon menurut Saldi adalah, batasan MK yang tidak boleh melakukan ultra petita. "Menurut saya ini keliru cara pikir pembuat UU. Karena ultra petita itu bagian dari proses di MK, nah kalau Hakim Konstitusi dilarang melakukan ultra petita nanti hakim konstitusi akan menjadi corong pembuat undang-undang saja. Tidak bisa mencari atau memutuskan keadilan substantif," ungkapnya.