Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi (MK) menyidangkan pembacaan putusan perkara pengujian Pasal 1 angka 26 dan angka 27 juncto Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) juncto Pasal 184 ayat (1) huruf a UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, Senin (8/8). Permohonan yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra diputus dikabulkan sebagian oleh Mahkamah.
“Putusan. Mengadili. Menyatakan. Dalam Pokok Perkara: Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua MK Moh. Mahfud Md membacakan amar putusan Mahkamah.
Masih dalam amar putusan Mahkamah, Mahfud membacakan bahwa Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana adalah bertentangan dengan UUD 1945. Namun, pasal-pasal tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, tidak dimaknai termasuk pula pada kalimat, “Orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Mahkamah juga menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak dimaknai termasuk pula dalam kalimat, “Orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
”Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan hakim konstitusi,” tutup Mahfud.
Pertimbangan Hukum
Sebelumnya Pemohon mendalilkan pengertian saksi yang diatur dalam pasal-pasal KUHAP a quo merugikan Pemohon. Pasalnya, pengertian tersebut mengakibatkan Pemohon tidak dapat mengajukan saksi meringankan (a de charge) yang tidak mendengar, melihat, dan mengalami sendiri peristiwa yang disangkakan atau didakwakan, maupun yang potensial disangkakan atau didakwakan kepada Pemohon.
Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah menimbang bahwa pada dasarnya hukum acara pidana memuat norma-norma yang menyeimbangkan antara kepentingan hukum individu dan kepentingan hukum masyarakat serta negara. Mahkamah berpendapat bahwa pada dasarnya dalam hukum pidana, individu dan atau masyarakat berhadapan langsung dengan negara. Hubungan ini menempatkan individu dan/atau masyarakat pada posisi yang lebih lemah. Dalam hal ini, hukum acara pidana berfungsi untuk membatasi kekuasaan negara yang dilaksanakan oleh penyelidik, penyidik, penuntut umum, maupun hakim, dalam proses peradilan pidana terhadap individu dan atau masyarakat, terutama tersangka dan terdakwa yang terlibat dalam proses tersebut.
Selain itu, Mahkamah juga menimbang bahwa hak asasi seseorang tetap melekat pada dirinya meskipun ia telah ditetapkan sebagai tersangka atau terdakwa. Oleh karena itu dalam suatu negara hukum, hukum acara pidana diposisikan sebagai alat agar pelaksanaan proses hukum dijalankan secara adil (due process of law) demi penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Mengenai pengertian saksi, Mahkamah berpendapat pengaturan atau pengertian saksi dalam KUHAP menimbulkan pengertian yang multitafsir dan melanggar asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam pembentukan perundang-undangan pidana. Ketentuan yang multitafsir dalam hukum acara pidana dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi warga negara, karena dalam hukum acara pidana berhadapan antara penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dengan tersangka atau terdakwa yang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Dengan demikian, ketentuan pemanggilan serta pemeriksaan saksi dan/atau ahli yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa, sebagaimana diatur dalam Pasal 65 juncto Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP, harus ditafsirkan dapat dilakukan tidak hanya dalam tahap persidangan di pengadilan, tetapi juga dalam tahap penyidikan. Menegasikan hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan (memanggil dan memeriksa) saksi dan/atau ahli yang menguntungkan bagi diri tersangka atau terdakwa pada tahap penyidikan, dan hanya memanggil saksi yang menguntungkan pada tahap pemeriksaan di muka pengadilan saja, merupakan pelanggaran terhadap Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Lebih lanjut dalam pertimbangan Mahkamah dijelaskan pengajuan saksi dan atau ahli, yang menjadi hak tersangka atau terdakwa, di sisi lain merupakan kewajiban bagi penyidik, penuntut umum, maupun hakim untuk memanggil dan memeriksa saksi dan/atau ahli a quo. Hal itu merupakan bagian dari penerapan prinsip due process of law dalam proses peradilan pidana dan upaya mewujudkan kepastian hukum yang adil dalam sebuah negara hukum. Namun, pengajuan saksi atau ahli yang menguntungkan bagi tersangka atau terdakwa dalam proses peradilan pidana bukan untuk menghalangi ditegakkannya hukum pidana. Meskipun hak tersangka atau terdakwa dilindungi oleh hukum acara pidana namun tetap harus diperhatikan batas-batas kewajaran dan juga kepentingan hukum masyarakat yang diwakili oleh negara. (Yusti Nurul Agustin/mh)