Jakarta, MK Online - Singkatnya tenggat waktu dalam pemeriksaan sengketa perselisihan hasil pemilu yang hanya 14 hari dianggap melanggar hak konstitusional oleh tujuh Pemohon. Hal ini terungkap dalam sidang uji materiil UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) pada Jumat (5/8), di Ruang Sidang Panel Mahkamah Konstitusi (MK). Perkara yang diregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 46/PUU-IX/2011 ini dimohonkan oleh Afloriano Melesen, Iskandar dabi-Dabi, Junaidi Deni, M. Djan Mangoda, Saiman Nuang, Arsad Sardan, dan Demianur Ice.
Melalui kuasa hukumnya Andi M. Asrun, Pemohon mendalilkan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU MK bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945. Asrun menuturkan dalam proses pemeriksaan sengketa Pemilukada tenggang waktunya cukup singkat, sehingga memunculkan beberapa persoalan. “Persoalan tersebut di antaranya, muncul dugaan kesaksian palsu kemudian juga alat bukti yang diragukan validitasnya sehingga kami menilai bahwa Pemohon menilai bahwa perlu kiranya Mahkamah Konstitusi memberikan tafsir terhadap ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf d UU MK. Kami berharap Mahkamah bisa memberikan tafsir bahwa putusan pada tingkat pertama dan final ini tidak berlaku manakala terjadi manipulasi atau katakanlah kekeliruan dalam data maupun munculnya kesaksian yang palsu,” papar Asrun di hadapan Panel Hakim yang diketuai oleh Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi.
Selain itu, Asrun menilai jika Pasal 10 ayat (1) huruf d UU MK tetap ditafsir sesuai dengan penjelasannya, maka hanya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. “Untuk itu, kami memohon kepada Mahkamah memutuskan dan menyatakan harus ditafsirkan sebagai Mahkamah Konstitusi tentang Pemilihan Umum, hasil Pemilihan Umum kecuali bila kemudian hari ditemukan penggunaan alat bukti palsu pada pemeriksaan perkara,” ujarnya.
Menanggapi permohonan Pemohon, Majelis Hakim Panel memberikan saran perbaikan kepada Pemohon. Wakil Ketua MK Achmad Sodiki mempertanyakan mengenai bukti palsu yang masih berupa dugaan. Sodiki mengungkapkan Mahkamah tidak dapat menunggu sampai dugaan bukti palsu tersebut disidangkan di pengadilan umum dalam memeriksa perkara perselisihan hasil pemilukada. “Pemeriksaan kita itu hanya 14 Hari. Di sini tidak dimohon Saudara harus membatalkan bahwa tenggang waktunya 14 Hari. Bagaimana kira-kira konstruksi berpikir anda itu?” jelas Sodiki.
Sementara Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mempermasalahkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dan argumentasi Pemohon dalam pokok permohonannya. “Alasan yang berkaitan dengan pokok permohonan ini sebagian besar adalah bersifat fakta-fakta, padahal justru yang harus dipertajam itu adalah bertentangan antara pasal a quo dengan UUD 1945 sehingga dia nantinya harus diputus secara bersyarat atau ditafsirkan seperti apa, itu berangkat dari situ. Nah, disini justru fakta-fakta saja, fakta-fakta yang tidak dikaitkan satu sama lain,” papar Fadlil. (Lulu Anjarsari/mh)