Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan inkonstitusional bersyarat Pasal 51 ayat (1a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Putusan ini dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi oleh delapan hakim konstitusi pada Rabu (4/8), di Ruang Sidang Pleno MK. Para Pemohon dalam permohonan ini, di antaranya Dana Iswara Basri, Fikri Jufri, M Husni Thamrin, Budi Arie Setiadi, Susy Rizky Wiyantini, Goenawan Mohamad, Sony Susanti, Daminus Taufan dan Andi Rahmat Tolleng.
“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian. Pasal 51 ayat (1a) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai ‘Verifikasi partai politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini harus dilakukan paling lambat 2,5 tahun tahun sebelum hari pemungutan suara untuk mengikuti pemilihan umum pada pemilihan umum pertama kali setelah partai politik yang bersangkutan didirikan dan berbadan hukum’,” urai Mahfud membacakan amar putusan Nomor 37/PUU-IX/2011 tersebut.
Dalam pendapat Mahkamah, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki menjelaskan ketentuan Pasal 51 ayat (1a) UU 2/2011 yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon memberikan dua penafsiran hukum yang berbeda. Pertama, jelas Sodiki, jangka waktu 2,5 tahun verifikasi badan hukum partai politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini dimaksudkan untuk mengikuti pemilihan umum pada kesempatan pertama, dan kedua jangka waktu 2,5 tahun verifikasi berbadan hukum partai politik yang dibentuk setelah Undang-Undang ini tidak untuk mengikuti pemilihan umum tahun 2014. Mahkamah berpendapat bahwa apabila verifikasi partai politik untuk memperoleh badan hukum tersebut dipersyaratkan kepada partai politik baru yang tidak ikut pemilihan umum tahun 2014, maka persyaratan tersebut membatasi hak kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang diatur dalam Pasal 28 UUD 1945.
“Menurut Mahkamah, dengan adanya permohonan a quo, maka unsur baru yang harus dinilai konstitusionalitasnya oleh Mahkamah adalah ketentuan tentang, ‘... harus dilakukannya verifikasi paling lambat 2,5 tahun sebelum pemungutan suara’. Ketentuan yang demikian menutup kemungkinan bagi warga negara yang ingin mendirikan partai politik sewaktu-waktu, sekaligus menghambat partai politik baru yang tidak bermaksud untuk mengikuti Pemilu tersebut. Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 51 ayat (1a) UU 2/2011 dalam putusan Nomor 15/PUU-IX/2011, tanggal 4 Juli 2011, harus dimaknai bahwa harus selesai dalam tenggang waktu paling lambat 2,5 tahun sebelum hari pemungutan suara adalah selesainya verifikasi untuk mengikuti pemilihan umum pertama kali sejak partai politik didirikan dan berbadan hukum. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, dalam rangkaian satu dengan yang lain, menurut Mahkamah dalil para Pemohon beralasan hukum untuk sebagian,” jelasnya.
Sementara itu, mengenai dalil Pemohon yang berkeberatan dengan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (1a) UU 2/2011 mengenai syarat pembentukan partai politik baru, Mahkamah menilai syarat tersebut merupakan pilihan kebijakan yang wajar, dan syarat demikian tidaklah berlebihan. Menurut Mahkamah, lanjut Sodiki, untuk mendirikan partai politik seharusnya tidak hanya digunakan perbandingan dengan Undang-Undang Partai Politik yang lama, melainkan juga harus mempertimbangkan jumlah penduduk yang semakin bertambah.
“Selain itu, sebagai negative legislator pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak dapat membentuk norma sebagai pengganti dari norma yang dibatalkan sehingga apabila pasal tersebut dibatalkan atau dinyatakan inkonstitusional maka akan terjadi kekosongan hukum. Terlebih lagi berdasarkan pengalaman di masa lalu, setiap terjadi perubahan Undang-Undang tentang kepartaian selalu pula terjadi perubahan syarat-syarat pendirian dan pembentukan partai baru. Hal tersebut dapat dipahami sebagai penyesuaian tingkat perkembangan bangsa dan negara. Oleh karena itu, dalil para Pemohon tidak beralasan menurut hukum,” urai Sodiki.
Kemudian, Sodiki mengungkapkan para Pemohon juga mendalilkan Undang-Undang a quo telah mempersulit partai politik untuk menjadi badan hukum, karena Pasal 3 ayat (2) terutama huruf c UU 2/2011 mensyaratkan partai politik tersebut harus memiliki kepengurusan pada setiap provinsi, dan paling sedikit 75% dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan, serta paling sedikit 50% dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan. Menurut Mahkamah, hal tersebut merupakan kebijakan hukum (legal policy) dari pembentuk Undang-Undang di bidang kepartaian dan Pemilu yang bersifat objektif, dan merupakan upaya alamiah dan demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai di Indonesia. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah menilai bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (2) huruf c UU 2/2011 tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagaimana yang didalilkan oleh para Pemohon.
“Jika pun pasal a quo menentukan aturan yang ketat dalam pembentukan partai politik baru, hal tersebut dimaksudkan untuk penguatan partai politik di tengah masyarakat karena tujuan dibentuknya partai politik bukan hanya untuk ikut serta dalam pemilihan umum, tetapi juga untuk: (i) pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; (ii) penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat; (iii) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara; (iv) wahana partisipasi politik warga negara; dan (v) rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender,” papar Sodiki. (Lulu Anjarsari/mh)