Beberapa mahasiswa dari Universitas Indonesia berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (4/8) pagi. Mereka diterima langsung oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati di ruang Koferensi Pers, Lantai 4, Gedung MK. Rombongan mahasiswa tersebut berjumlah 70 orang.
Pada kesempatan itu, Maria menyampaikan kuliah singkat. Dalam paparannya, dia menjelaskan beberapa hal terkait MK. Mulai dari sejarah dan latar belakang pembentukan MK, beberapa ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan MK, hingga perkembangan pelaksanaanya. Bertindak selaku moderator saat itu, Koordinator Student Development Program Universitas Indonesia Monica.
Maria menjelaskan, perdebatan tentang dibentuknya MK bukanlah hal baru dalam perumusan Konstitusi Indonesia. Pada awal perumusan Undang-Undang Dasar 1945, usulan pembentukan lembaga sejenis MK pernah dilontarkan oleh Mohammad Yamin. “Yamin mengusulkan dibentuknya Balai Agung,” ujarnya.
Saat itu, Yamin beralasan perlunya dibentuk sebuah lembaga yang dapat melihat dan menguji apakah keputusan lembaga lain telah sesuai atau bertentangan dengan Konstitusi. Namun, usul Yamin ini ketika itu ditolak oleh Soepomo. Salah satu alasannya adalah Indonesia masih belum terlalu banyak memiliki sarjana hukum. “Selain itu, waktu itu Indonesia menganut trias politica,” jelasnya.
Berkaitan dengan perkembangan kewenangan MK, ujar Maria, diantaranya adalah kewenangan MK untuk mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. Sebelumnya, kewenangan ini dimiliki oleh Mahkamah Agung. Peralihan kewenangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 12/2008 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, ia juga menegaskan bahwa putusan MK bersifat terakhir dan berlaku mengikat kepada setiap orang. “Sekali diadili, diputuskan, selesai. Tidak ada upaya hukum lain,” tegas Maria yang juga Guru Besar Perundang-Undangan UI tersebut.
Salah satu yang ia banggakan selama di MK, tutur Maria, adalah independensi hakim yang benar-benar terjaga. Menurutnya, kebebasan hakim untuk melakukan dissenting opinion, menjadikan hakim bebas mengemukakan pendapatnya. “Itulah yang saya senangi,” ungkapnya. “Karena teori dan pendapat yang saya yakini benar, dapat tetap saya ambil.” Apalagi menurutnya, putusan MK sulit dipalsukan. “Karena sepuluh menit setelah pembacaan, (putusan) langsung diserahkan kepada para pihak.”
Hal menarik lainnya, tutur Maria, ialah seringkali dirinya dikirimi berbagai literatur oleh para pihak. Tentu saja tujuannya untuk menambah referensi dirinya dalam memutuskan berbagai macam perkara. “Rak buku saya hampir penuh,” imbuhnya. (Dodi/mh)