Wacana - 04 Agustus 2011
Mahkamah Konstitusi (MK) kecewa isu sekitar surat palsu yang sekarang tengah disidik Polri hilang karena tergerus isu pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilontarkan Ketua DPR RI Marzuki Alie. Setidaknya kekesalan ini diungkapkan terbuka oleh juru bicara MK, Akil Mochtar. Seperti diketahui, kasus pemalsuan surat MK itu kini sedang ditangani polisi. Beberapa nama seperti mantan anggota KPU Andi Nurpati diduga terlibat kasus ini. Tetapi, sejauh ini baru satu nama yakni bekas juru panggil MK Masyhuri Hasan yang ditetapkan sebagai tersangka.
Dengan hilangnya isu tersebut dari perhatian media, maka kemungkinan pihak kepolisian merasa tidak perlu melanjutkan lagi, termasuk mengusut secara tuntas kasus ini. Akil Mochtar mungkin melihat tanda-tanda yang semakin jelas bahwa pemeriksaan kasus ini berjalan amat lamban. Kenapa berjalan lamban ? Tentu banyak orang baik pengamat maupun masyarakat menengarai ada kepentingan tertentu untuk ”menjaga” beberapa nama yang diduga terlibat itu. Bukankah kasus pemalsuan seperti sangat mudah diusut, tetapi kenapa harus berjalan amat pelan.
Kelambanan itu mungkin saja terjadi karena banyak faktor. Kasusnya memang rumit, dan bukti-buktinya tidak terlalu cukup. Bisa juga, aktor-aktornya sudah hilang, atau meninggal sehingga kesaksian penting tidak didapatkan. Tetapi juga mungkin terjadi, seperti yang biasa dirasakan, dengan sengaja dirancang untuk ”ditenggelamkan” karena ada agenda-agenda tertentu. Di samping masih ada faktor lain, yakni pengaruh kuat dari ”tangan-tangan tak terlihat” sehingga bukan hanya lamban penyidikan, tetapi hampir pasti dihentikan dengan satu dua orang kecil yang dikorbankan.
Sidang pembaca tentu sudah amat paham tentang modus-modus seperti itu, karena hal serupa selalu berulang-ulang. Ada pasal atau ayat yang ”tergantung” dan inilah yang menjadikan selama ini tidak ada kasus yang secara efektif berhasil dituntaskan. Hukum adalah wilayah yang sangat bisa dikompromikan, apalagi jika harus berada di jaringan politik. Satu kasus belum selesai, dilempar isu baru yang mengagetkan, dan tentu semua orang akan mudah terlupa. Kultur penegakan hukum di sini masuk dalam kategori ”lupa-lupa ingat”.
Jika kasus tertentu sudah berhasil ”ditenggelamkan” maka lebih mudah ”dikompromikan” dan ”diselesaikan”. Tentang ayat ”penyelesaian” juga sangat tergantung pada seberapa jauh kompromi bisa dibangun dan didapatkan. Maka, begitu banyak ”ahli” yang memanfaatkan situasi hukum dan politik di sini yang seperti itu. Semakin banyak kasus muncul ke permukaan, riuh sejenak, lalu mereda. Keadaan seperti ini tentu merupakan ”tambang” yang tak bakal habis untuk dikeruk sampai kapan pun. Hanya Tuhan yang bisa menghentikan.
Akan halnya dengan isu tentang surat palsu Mahkamah Konstitusi tersebut sudah sangat jelas skenarionya. Bukankah kasus itu sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Dari sini saja sudah bisa muncul pertanyaan, kenapa baru sekarang diusut ? Itu pun setelah Ketua MK Mahfud MK gencar mengungkapkan hal ini ke publik. Seandainya Mahfud tetap diam, maka kasus ini pun tidak akan muncul ke permukaan. Terbang bersama angin lalu. Sudah muncul ke publik saja masih ada usaha untuk ”menerbangkan”, apalagi jika tidak. Tetapi, percayalah mekanisme ”sing salah bakal seleh”.
Sumber www.suaramerdeka.com