Rabu, 03 August 2011
'Jika kondisi ini terus-menerus terjadi akan menjadi preseden buruk bagi proses peradilan di MK'.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengkritik pihak pemerintah terutama DPR yang seringkali tidak hadir dalam setiap persidangan pengujian undang-undang atau sengketa kewenangan lembaga negara di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini menunjukkan ketidakseriusan pembuat undang-undang (UU) dalam menyikapi setiap undang-undang yang dipersoalkan warga negara.
Demikian disampaikan Juru Bicara MK M Akil Mochtar saat ditemui di ruang kerjanya di Gedung MK Jakarta, Selasa (2/8). Ia menilai selama ini baik pemerintah dan DPR kurang responsif dalam menyikapi setiap sidang di MK.
“Kalau kita lihat dengan perubahan UU MK yang baru, bagaimana semangat DPR dan pemerintah untuk menjaga MK ini. Namun, DPR dan pemerintah sendiri jarang sekali hadir di persidangan MK. Kalaupun wakil pemerintah hadir itu hanya kroco-kroconya yang diwakili staf biro hukumnya, humasnya atau perundang-undangannya, paling tinggi setingkat direktur/Dirjen yang kurang memenuhi kualitas,” keluhnya.
Ia menilai kondisi saat ini terbalik dengan keinginan pembuat undang-undang yang melakukan perubahan undang-undang MK, seperti mereka membatasi putusan ultra petita, dan sebagainya. Dalam UU MK yang baru itu (UU No. 8 Tahun 2011, red), setiap sidang, MK wajib memanggil DPR dan pemerintah selama lima hari sebelum sidang untuk mendengarkan keterangan pemerintah dan DPR.
“Jika undang-undang yang diuji dibatalkan, para pembuat undang-undang terkadang marah-marah atau uring-uringan. Di satu sisi mereka mewajibkan, tetapi disisi lain mereka enggak jarang datang meski bukan sebagai pihak, tetapi sebagai pemberi keterangan. Ini secara tidak langsung akan menghambat proses berperkara di MK karena mereka tidak memiliki perhatian,” ujar Akil.
Menurut Akil seharusnya menteri dan anggota DPR yang mendapat kuasa untuk itu bisa hadir dalam sidang khususnya dalam pengujian undang-undang. “Ada sekitar kuasa dari anggota DPR ada sekitar 15 orang anggota DPR, tetapi mereka jarang sekali datang,”
Menurut catatan MK pemegang kuasa sidang di DPR hanya beberapa orang saja yang pernah hadir member keterangan dalam sidang. Seperti Ruhut Sitompul, Adang Daradjatun, dan Nudiman Munir. “Setelah itu, kuasa dari DPR tak ada pernah hadir lagi, kalau dari pemerintah Menteri Hukum dan HAM tercatat hanya datang sekali saat pengujian UU KPK terkait kasus Anggodo Widjojo,” ungkapnya.
Karena itu, ia mengimbau agar pemerintah dan DPR hadir dalam setiap persidangan pleno pengujian undang-undang dengan menunjuk wakilnya yang berkompeten.
“Sebenarnya kalau pemerintah itu diwakili presiden, lalu memberi kuasa lagi kepada menteri terkait. Namun, menteri memberi kuasa substitusi lagi kepada bawahannya yang kroco-kroco itu. Kalau DPR yang seringkali tidak hadir, paling hanya staf biro perundang-undangannya,” jelasnya. “Kalau zaman Pak Jimly kalau wakilnya bukan menteri tidak mau dia karena yang mewakili pemerintah adalah presiden.”
Kondisi sering tidak hadirnya wakil dari DPR, kata Akil, sebenarnya tidak mempersulit MK. Namun, persoalannya tidak ada konsistensi antara kemauan mereka yang dituangkan dengan undang-undang dengan fakta yang terjadi ketika suatu undang-undang dipersoalkan warga negara. “Jika terus-menerus seperti ini akan menjadi preseden buruk bagi proses peradilan di MK, terkesan mereka tidak serius,” tudingnya.
Salah satunya, Akil mengacu pada putusan MK nomor 5/PUU-IX/2011 atas Pasal 33 dan 34 UU KPK yang menyatakan jabatan Busyro empat tahun. Saat itu, kata Akil, presiden menyatakan menunggu putusan MK. Padahal, usai sidang pembacaan salinan putusan bisa langsung diberi ke masing-masing pihak termasuk pemerintah.
“Kalau presiden enggak apa-apalah (menyatakan itu). Yang paling parah (pernyataan) Setnegnya itu, padahal Setneg bisa buka di website MK. Di situ bisa langsung di-upload,” kata Akil.
Mantan anggota Komisi III DPR RI itu menyatakan kritik itu keluar setelah penundaan sidang sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) yang dimohonkan Bupati Kutai Timur Isran Noor. Sebab, pihak pemerintah, Menteri Energi Sumber Daya Alam hingga sidang keempat belum siap dengan kuasa dari menterinya, sehingga belum bisa memberikan keterangan.
Sumber: www.hukumonline.com