Jakarta, MKOnline - Keinginan sebagian masyarakat, terutama para akademisi, untuk menguji Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi yang baru saja disahkan bukan pepesan kosong. Faktanya, uji materiil terhadap Undang-Undang nomor 8/2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah didaftarkan ke MK pada Senin (29/7) siang.
Pada kesempatan itu, pendaftaran permohonan dilakukan oleh beberapa Pemohon, yakni Saldi Isra, Yuliandri, dan Feri Amsari. Mereka datang beserta beberapa kuasanya, diantaranya Febri Diansyah dan Donald Fariz. Adapun para Pemohon Prinsipal lainnya adalah Arief Hidayat, Zainul Daulay, Zainal Arifin Mochtar, serta M. Ali Safa’at.
Menurut Saldi, pengujian terhadap UU MK tersebut tak perlu ditunda-tunda lagi. “Jika menunggu terlalu lama, implikasi negatifnya akan terlanjur terjadi,” ujarnya. “Ini merupakan bentuk protes kami yang intens memperhatikan MK.”
Pengujian tersebut dilakukan, lanjut Saldi, karena UU MK yang baru tersebut berpotensi ‘melemahkan’ kinerja serta ‘mengancam’ independensi MK dalam menegakkan hukum dan keadilan. Perubahan UU MK dianggap menutup peluang keadilan substantif. “Ada substansi hasil revisi yang berpotensi merusak MK,” tegasnya.
Beberapa persoalan yang ada dalam UU tersebut, diantaranya terkait keberadaan unsur Dewan Perwakilan Rakyat dalam komposisi Majelis Kehormatan MK dan ‘larangan’ membuat putusan ultra petita. Menurut Saldi, ketentuan itu merupakan cara pandang yang keliru. “Jika dilarang (membuat putusan ultra petita), maka menjadikan Hakim MK sebagai corong undang-undang,” tuturnya. Ultra petita adalah putusan pengadilan (dalam hal ini MK) yang memutus melebihi dari apa yang diminta atau dimohonkan oleh pemohon.
Implikasi pelarangan putusan ultra petita, ujar Saldi, akan menyulitkan MK dalam mewujudkan keadilan substantif sebagaimana yang telah dilakukan oleh MK selama ini. Oleh karena itu, dalam permohonannya, pihaknya bermaksud menguji UU MK, terutama Pasal 4 Ayat (4f), (4g), dan (4h); Pasal 15 Ayat (2) huruf d; Pasal 27A Ayat (2) huruf c, d, dan e; Pasal 50A; Pasal 57 Ayat (1), (2), dan (2a); serta Pasal 59 Ayat (2).
Salah satu pasal yang diuji, yakni Pasal 57 Ayat (2a) UU MK itu berbunyi, “Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat: a. amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2); b. perintah kepada pembuat undang-undang; dan c. rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”(Dodi/mh)