Jakarta, MkOnline - Keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) mempunyai peran sangat penting dalam menertibkan tata hukum di Indonesia. Demikian disampaikan oleh Ketua MK, Moh. Mahfud MD, saat menyampaikan materi “Peran MK dalam Menjamin Sinkronisasi Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945” pada peluncuran buku “Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia: Antara yang Tersurat dan Tersirat,” karangan Maria S.W. Sumardjono dan kawan-kawan, di Hotel Atlet Century Park, Jakarta, Rabu (27/7).
Di depan puluhan guru besar dari berbagai universitas di Indonesia dan perwakilan dari berbagai instansi yang menghadiri peluncuran buku tersebut, Mahfud MD mengatakan bahwa MK dibentuk dikarenakan pada zaman dulu Undang-Undang (UU) apapun yang melanggar Konstitusi tidak akan bisa dibatalkan kecuali oleh yang membuat UU itu sendiri. “Coba bayangkan sejak 1959 sampai 2003 tidak satu UU pun yang dibatalkan. Namun sejak MK berdiri pada 2003 hingga awal Juli 2011, sudah ada sekitar 321 perkara pengujian UU yang diputus oleh MK. Dan, ada 85 perkara yang dikabulkan oleh MK,” jelasnya.
Menurut Mahfud MD, sebuah UU bisa dibatalkan oleh MK kalau secara filosofis UU tersebut bertentangan dengan empat hal. Pertama, prinsip integritas bangsa, termasuk integritas teritorial, atau ideologi UU yang mengancam kesatuan ideologi Pancasila. Sedangkan yang kedua, menurutnya, setiap UU itu harus memuat prinsip seimbang, yaitu demokrasi (kedaulatan rakyat) dan nomokrasi (kedaulatan hukum). “Apabila nomokrasi dan demokrasi ini tidak berjalan dengan seimbang, maka akan dibatalkan oleh MK,” paparnya.
Sementara yang ketiga, menurut Mahfud MD, adalah penyampainnya yaitu keadilan sosial. Artinya, tidak boleh UU itu menabrak UU keadilan sosial, dan kalau ini ditabrak maka itu akan dibatalkan oleh MK. “Dan, yang terakhir yaitu yang keempat adalah toleransi, karena bangsa kita adalah bangsa yang plural maka tidak boleh adanya diskriminasi,” jelas Mahfud MD.
Dalam kesempatan tersebut, Mahfud MD juga memaparkan bagaiamana langkah untuk menegakkan konstitusi. Menurutnya ada tiga macam yang harus diperhatikan, yaitu keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Menurutnya, kalau kita hanya mengikuti bunyi UU, maka hanya ada kepastian hukum dan tidak ada keadilan. Ia mencontohkan dalam sengketa pemilihan umum dan pengujian UU. Dalam UU tidak boleh membatalkan hasil pemilihan umum yang di tetapkan oleh KPU. Padahal sebelum ditetapkan ada proses kecurangan-kecurangan. “Oleh karena itu, kecurangan di pemilihan umum pasti ada, tetapi MK hanya akan membatalkan kalau memenuhi unsur terstruktur, sistematis, dan massif. Di sinilah kita akan membangun keadilan,” terangnya.
Menanggapi persoalan masyarakat adat dan hukum adat yang dipaparkan oleh Maria S.W. Sumardjono selaku pengarang buku tersebut, menurut Mahfud MD, itu sulit untuk diselesaikan dan UU Hukum adat belum ada. Kemudian ia mencontohkan kasus yang pernah ditangani oleh MK, tepatnya dalam persidangan, ada seorang kepala adat yang saat itu memakai topi adat dari Maluku. Pada saat itu ia mengaku ini tanah mereka. Kemudian besoknya ada orang lain lagi yang juga datang ke persidangan MK dan mengaku bahwa ia adalah kepala adat dengan membawa tongkat. “Dengan melihat peristiwa ini, belum ada kejelasan terkait dengan masyarakat hukum adat. Kami merasa kesulitan terkait kesatuan masyarakat hukum adat. Oleh karenanya sampai sekarang kami tidak memberikan legal standinga-nya,”papar Mahfud.
Selain Mahfud MD, pembicara dalam peluncuran buku tersebut adalah Maria S.W. Sumardjono selaku penulis buku, dan Ganjar Pranowo, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta dimoderatori oleh Nurhasan Ismail, yang juga salah satu penulis dari buku yang diluncurkan tersebut.
Dalam kesempatan tersebut, Maria S.W. Sumardjono menekankan arti penting kajian yang terdapat dalam bukunya. Menurutnya, pengaturan sumber daya alam yang terdapat dalam UU selama ini dinilai saling tumpang tindih, dan tidak singkron dengan pihak-pihak terkait. “Secara empiris kita sudah melihat kemunduran antara kualitas dan kuantitas sumber daya alam. Kalau terus menerus seperti ini maka generasi yang akan datang itu mau dapat apa?” Ucap Guru Besar UGM tersebut.
Sementara Ganjar Pranowo menyoroti bagaimana peran sentral pemerintah pusat dalam mengontrol perda-perda di daerah. Menurutnya masalah pembatalan perda-perda ini bisa karena persoalan politik. “Harusnya itu masuk dalam wilayah judicial review, tetapi ternyata masuk political review,” terangnya. (Shohibul Umam/mh)