Jakarta, MKOnline - Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD dan Hakim Konsitusi M. Akil Mochtar menghadiri undangan Harian Umum Sore Suara Pembaruan di kantor redaksinya, Gedung Aryaduta, Semanggi, Jakarta, Selasa (26/7). Kunjungan itu disambut langsung oleh Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan, Primus Dorimulu, beserta jajaran pimpinan harian sore tersebut.
Hal pokok yang dibicarakan dalam kunjungan itu adalah terkait dengan tugas pokok MK. Dalam paparannya, Mahfud MD menjelaskan bahwa sebenarnya MK menurut UUD 1945 mempunyai empat wewenang dan satu kewajiban. Kewenangan yang pertama adalah kewenangan menguji Undang-Undang terhadap UUD (judicial review), wewenang ini sangat produktif karena sejak 2003-sekarang sudah ada sekitar 380 kasus, dan yang dikabulkan lebih dari 70 kasus. “Artinya, ada 70 kali kita telah membatalkan UU, sesuatu yang dulu tidak bisa dibayangkan ada UU yang bisa dibatalkan oleh sebuah lembaga peradilan,” jelas Mahfud.
Sedangkan wewenang yang kedua, menurut Mahfud, mengadili Sengketa Kewenangan lembaga negara yang ke¬wenangannya diberikan oleh UUD. Mahfud mencontohkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersengketa dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). “Pernah kasus pengangkatan anggota Badan Pemeriksaan Keuangan. Menurut UUD, BPK itu dipilih oleh DPR atas pertimbangan DPD. Waktu itu DPD tidak diminta pertimbangan, kemudian DPR mengangkat, lalu DPD mengajukan permohonan ke MK,” terangnya.
Lebih lanjut Mahfud mengatakan bahwa kewenangan MK lainnya, yaitu yang ketiga, adalah kewenangan memu¬tus pembubaran partai politik. Dan kewenangan yang keempat adalah memutus perselisihan ten¬tang hasil pemilihan umum.
“Sementara satu kewajiban yang dimiliki oleh MK adalah memberikan putusan atas pen¬dapat DPR mengenai dugaan pelanggar¬an oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD,” terang Mahfud.
Empat kewenangan dan satu kewajiban MK, menurut Mahfud, adalah gagasan awal berdirinya MK. Tetapi dalam perjalanannya MK tidak hanya menundukkan kepada ketentuan-ketentuan formal, tetapi juga ketentuan non-formal. Ia mencontohkan, misalnya, dalam sengketa Pemilu untuk melakukan Pemilu ulang, dalam UU itu tidak ada. “Oleh karena itu kalau kita mengikuti UU, maka kita tidak akan memperolah keadilan, UU itu dinilai hitam putih. Sehingga kita membuat teori bahwa setiap pelanggaran Pemilu yang bersifat terstruktur, massif, dan sistematis itu bisa membatalkan hasil Pemilu. Dan, itu tidak ada teori sebelumnya,” jelasnya.
Lebih jauh Mahfud menjelaskan bahwa suatu negara dinyatakan aman dan tertib apabila pembangunan hukum negara berada pada tiga pilar, yaitu materia atau isi, aparat, dan budaya. “Saya lihat kita mempunyai masalah pada aparat. Coba kita lihat kasus-kasus hukum itu masalahnya ada pada aparatnya, tidak pada materi hukumnya,” jelas Mahfud.
Dalam kesempatan tersebut, menanggapi pertanyaan Primus Dorimulu terkait desentralisasi otonomi daerah, M. Akil Mochtar menjelaskan bahwa dahulu dalam pasal 18 UUD 45 terdiri dari daerah besar dan daerah kecil, tetapi belum konkrit. “Padahal UU itu produk politik yang mempunyai kepentingan, sehingga masalah kepentingan politik antara pusat dan daerah akan muncul,” jelas Akil.
Lebih lanjut Akil mengatakan bahwa pemekaran daerah itu konsepsinya adalah untuk mempercepat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, menurutnya, disentralisasi daerah (penyerahan kewenangan kepada daerah) itu sangat penting. (Shohibul Umam/mh)