Jakarta, MKOnline - Ketua MK Mahfud MD menuturkan berbagai pengalamannya dengan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, terkait dengan pandangan dan pemikiran sosok yang akrab disapa Gus Dur itu. Salah satu pengalamannya dengan “Bapak Pluralisme Indonesia” itu terjadi pada 6 Juni 2001.
“Waktu itu Gus Dur sudah dikepung oleh berbagai kekuatan politik untuk dijatuhkan. Dalam situasi itu biasanya kalau orang punya naluri politik, selalu mencari jalan untuk selamat.” tutur Mahfud pada Seminar Kebangsaan “Aktualisasi Spirit Perjuangan Gus Dur” dalam rangka hari ulang tahun ke-13 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta, Selasa (19/7) siang.
Mahfud melanjutkan ceritanya dengan Gus Dur. Tak lama, datanglah sekelompok orang menemui Mahfud yang mengatakan Gus Dur tidak mungkin selamat jadi Presiden. Menurut mereka, Gus Dur bisa diselamatkan asalkan bersedia mengeluarkan Dekrit Presiden agar menjadikan Indonesia sebagai negara Islam.
Selanjutnya Mahfud menyampaikan hal itu kepada Gus Dur. Tapi apa kata Gus Dur? “Saya lebih baik berhenti sebagai Presiden daripada mengorbankan bangsa dan negara,” ungkap Mahfud menirukan ucapan Gus Dur, seperti tertulis dalam buku karya Mahfud berjudul “Setahun Bersama Gus Dur”.
Cerita lainnya mengenai Gus Dur terjadi saat Mahfud bersama sejumlah tokoh seperti Khofifah Indar Parawansa, Alwi Shihab, Hamzah Haz, sekian tahun lalu. Topik utama saat itu bahwa kalau Partai Golkar bergabung dengan PPP dan PKB, Gus Dur tidak akan jatuh dari kursi kepresidenan meskipun kalah suaranya. Bahkan ada usulan agar Gus Dur melakukan pergantian para menteri, demi menyelamatkan jabatan Presiden Gus Dur.
“Ternyata Gus Dur menjawab, ‘Saya tidak mau melanggar konstitusi. Demokrasi itu bukan jual beli. Menurut konstitusi, menteri adalah hak prerogatif Presiden. Kalau mereka mau mendukung saya, tetaplah memberi hak prerogatif kepada Presiden ’,” kata Mahfud dalam acara yang juga dihadiri Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Sekjen PKB Imam Nachrowi dan Romo Mudji Sutrisno.
Keteguhan sikap Gus Dur untuk tidak mau melanggar konstitusi, sempat membuat orang-orang di dekatnya termasuk Mahfud, mempertanyakan. “Gus Dur kenapa tidak mau bersikap realistis? Ini adalah realitas politik, Gus Dur harus kompromi,” ujar Mahfud. Namun Gus Dur mengutarakan, “Kalau kita mau maju, kita harus membuat realitas baru, jangan terikat pada realitas yang ada.”
Di sisi lain, ungkap Mahfud, Gus Dur dikenal sebagai sosok yang humoris. Salah satu humornya, cerita dua penasehat Presiden Soeharto, seorang tentara dan seorang kyai. Penasehat yang tentara memberitahu Presiden, kalau mau masuk mobil mulai dengan kaki kiri. Sedangkan penasehat yang kyai, minta Presiden mulai dengan kaki kanan.
Suatu ketika saat Pak Harto ingin masuk mobil, penasehat yang tentara minta Presiden mulai dengan kaki kiri, sedangkan penasehat yang kyai minta Presiden naik dengan kaki kanan. Keadaan itu diketahui Bu Tien Soeharto seraya ngomong, “Apa-apaan sih, satu minta kaki kiri, satu kaki kanan. Apa memangnya Pak Harto disuruh melompat?” “Cerita itu mengandung pesan moral dari Gus Dur bahwa menjadi pemimpin janganlah ragu mengambil keputusan,” ujar Mahfud kepada para hadirin.
Lebih jauh Mahfud mengungkap dasar teologi yang diterapkan Gus Dur dalam mengatur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Ada 3 kuncinya. Pertama, jangan mencari perbedaan agama, karena agama itu urusan masing-masing orang. Oleh sebab itu kita tidak bisa memaksakan menjadikan satu negara berdasarkan satu agama, padahal masyarakatnya plural,” imbuh Mahfud. Kunci kedua, lanjut Mahfud, kita harus mencari persamaan di antara agama-agama, misalnya bicara kepemimpinan yang tidak korup, penegakan hak asasi manusia, semua agama setuju. Kemudian kunci ketiga, sesuai hadist Rasulullah SAW bahwa agama yang benar adalah agama lurus dan tolerans. (Nano Tresna A./mh)