Jakarta, MKOnline - Pada sesi III Simposium Internasional MK, Selasa (12/7), tema yang diusung adalah The Mechanism of Balance Among State Institutions dengan tema besar Negara Demokrasi Konstitusional (Constitutional Democratic State). Tema yang dibahas ini bagian dari tiga tema, yaitu The Role of Constitutional Court and Equivalent Institution in Strengthening the Principles of Democracy (Peran MK dan Institusi Sejenis dalam Menguatkan Prinsip-Prinsip Demokrasi), The Democration of Lawmaking Process (Demokratisasi dalam Membuat Undang-Undang), dan The Mechanism of Balance Among State Institutions (Mekanisme Checks and Balances di antara Lembaga-Lembaga Negara).
Dalam kesempatan pada Panel 1 ada tiga pembicara, yaitu Hakim Mahkamah Agung (MA) Meksiko Margarita Beatriz Luna, Hakim MK Tajikistan Gulzorova Muhabbat Mamadkarimovna, dan Hakim Konstitusi MK RI Akil Mochtar.
Margarita Beatriz Luna, yang diberikan kesempatan moderator Maruarar Siahaan untuk menyampaikan materinya terlebih dahulu, mengatakan demokrasi adalah nilai fundamental dan esensial dari negara konstitusional yang kedaulatannya terletak pada kehendak rakyat. Dalam konteks Meksiko, Beatriz menuturkan bahwa Mahkamah Agung Meksiko, saat ini, menjadi wujud nyata dalam menyelesaikan berbagai konflik yang ada.“Semua itu tunduk pada wilayah hukum tersebut,” terangnya.
Di samping berbicara tentang nilai fundamental, Beatriz juga berbicara tentang konstitusionalitas. Menurutnya, sistem kontrol peradilan dalam menjamin konstitusionalitas, menjadi pelengkap atau menutup celah yang selama ini dinilai tidak. “Dengan adanya judicial review, kebebasan sipil atau hak-hak fundamental bisa dipertahankan,” paparnya.
Sementara itu, Gulzorova Muhabbat Mamadkarimovna dari Tajikistan menyampaikan pentingnya untuk melindungi hak-hak konstitusional dan hak-hak dan kebebasan individu dengan menerapkan konstitusi dalam pemerintahan. “Oleh karena itu, Tajikistan memunculkan lembaga independen, Badan Kajian Konstitusi, yaitu Mahkamah Konstitusi,” jelasnya.
Lebih lanjut Gulzorova menjelaskan bahwa konstitusi negaranya menjamin dan melindungi hak asasi manusia dan kebebasan melalui yurisdiksi konstitusional yaitu kemerdekaan, kolegialitas, keterbukaan, kompetisi, dan kesetaraan para pihak. “Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, Mahkamah Konstitusi harus membuat putusan yang memiliki nilai dalam melindungi hak-hak dan kebebasan manusia dan warga negara,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi MK RI, Akil Mochtar, menjelaskan mengenai prinsip checks and balances yang dianut oleh Indonesia. Menurut Akil, checks and balances muncul dari kebutuan untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan tidak melampaui batas kekuasaannya. “Sebagai contoh kekuasaan membentuk UU yang dipegang parlemen, namun setiap Rancangan UU harus diputuskan bersama antara Parlemen dan Presiden,” jelasnya.
Penguatan Prinsip Checks and Balances
Selanjutnya dalam Panel 2 dimoderatori oleh Djoko Priyono dengan tiga pembicara, yakni Wakil DPR Kolombia Nidia Marcela Osorio Solgado, Presiden Parlemen Timor Leste Fernando La Sama de Araujo, serta Hakim MK RI Hamdan Zoelva.
Saat itu, Nidia Marcela, menyampaikan makalah berjudul “Constitutional Democratic State”. Dalam penyampaiannya, ia mengulas tentang sejarah konstitusi di Kolombia. Menurutnya, konstitusi terakhir Kolombia banyak memberikan perkembangan dalam kehidupan demokrasi di negaranya. “Konstiutusi yang ada jadi sumber legalitas MK sebagai pengadilan tertinggi yang melindungi konstitusi,” jelasnya. Bahkan, dalam konstitusi ini, diatur pula pengakuan atas masyarakat adat yang ada di Kolombia.
Selain itu, dalam konstitusi tersebut, juga diatur tentang kebebasan dan pembagian kekuasaan secara seimbang. Ia mengungkapkan, ada sembilan orang hakim di MK Kolombia. “Tiga dari Senat, tiga dari Mahkamah Agung, dan tiga dari parlemen,” ungkapnya. Ia menegaskan, para hakim tersebut harus mampu bijak, netral dan diusahakan tidak melakukan kekeliruan sedikitpun. “Harus bisa menjaga prinsip-prinsip demokrasi,” tegasnya.
Sementara pembicara lain, Fernando La Sama, mengangkat tema “Democratic Balance and Separation of Powers.” Ia mengatakan, di negaranya tidak ada MK. Namun, MA disana melaksanakan beberapa kewenangan MK pada umumnya. “Melakukan pemantauan apakah aturan telah sesuai dengan konstitusi (ataukah tidak),” katanya. Selain itu, MA juga menangangani beberapa permasalahan Pemilu.
Sedangkan Hamdan Zoelva, membawakan makalah berjudul “Checks and Balances Mechanism among State Institutions (Experience and Practice in Indonesia)”. Dalam paparannya, Hamdan, menjabarkan tentang perkembangan demokrasi di Indonesia. Menurutnya, di Indonesia pernah dikenal Demokrasi Pancasila. Namun, kata Hamdan, pada saat itu demokrasi hanya dalam bentuk formalnya saja, belum sampai pada substansinya.
Sedangkan sekarang, pasca reformasi, kata Hamdan, banyak perubahan mendasar yang telah dilakukan. Langkah besar itu adalah melakukan amandemen atas UUD 1945. Menurutnya, perubahan tersebut terutama terjadi dalam struktur kelembagaan negara. Hal ini berimplikasi pada posisi kedaulatan negara. Sebelum perubahan, kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara, sedangkan setelah perubahan, seluruh lembaga negara menjadi sejajar. Selain itu, munculnya lembaga negara baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sayangnya, DPD masih “bersifat komplementer”, kata dia. Harapannya, dengan struktur ketatanegaraan seperti itu, terjadi checks and balances antar lembaga negara. Meskipun, kata Hamdan, belum ada checks and balances antara pemerintah pusat dan daerah.
Kebutuhan Negara
Hal menarik lain juga muncul pada Panel 3 yang diisi oleh empat panelis, yakni Ketua Pengadilan Tinggi Malaya Pengadilan Federal Malaysia Tan Sri Arifin bin Zakaria, Hakim Konstitusi Turki Engin Yildirim, Wakil Ketua DPR RI Priyo Budi Santoso, serta Ketua Komisi Hukum Senat Azerbaijan Ali Huseynii. Dalam penjelasannya, keempat panelis menyampaikan bahwa setiap negara menganut prinsip demokrasi dan mekanisme check and balances disesuaikan dengan kebutuhan negara masing-masing.
Tan Sri Arifin menyampaikan Malaysia menganut sistem pemisahan kekuasaan sejak zaman pemerintahan Inggris hingga sekarang. Dalam paparannya, Tans Sri Arifin menyampaikan bahwa sistem kekuasaan di Malaysia memiliki hierarki, yakni Yang Dipertuan Agong, Lembaga Eksekutif (Menteri Kabinet), Lembaga Legislatif (Parlemen), dan Lembaga Yudikatif (Pengadilan Federal). “Doktrin pemisahan kekuasaan mengharuskan adanya prinsip check and balances yang sistematis dan efektif. Hal ini berguna untuk memastikan setiap lembaga negara dan cabang kekuasaan melakukan kewenangannya sesuai dengan hukum,” ujarnya.
Menanggapi pertanyaan mengenai reformasi di Malaysia, Tan Sri Arifin menjelaskan bahwa isu ‘reformasi’ merupakan isu sensitif di Malaysia. “Isu reformasi agak sensitif karena berkaitan dengan para pembangkang (pengkhianat negara, red.). Meski reformasi berarti perubahan, namun di Malaysia, harus tetap berpedoman pada Konstitusi. Akan tetapi, kekuatan tetap pada masyarakat melalui pemilihan umum,”terangnya.
Di Turki, Hakim Konstitusi Turki Engin Yildirim menuturkan bahwa MK Turki merupakan lembaga yang penting dan kontroversial dalam aspek politik maupun hukum di Turki. Setiap putusan MK Turki selalu menuai berbagai macam reaksi dan respon. Beberapa, lanjut Yildirim, melihat MK Turki sebagai pengawal nilai-nilai penting konstitusi, namun tak jarang kritikan juga disampaikan. “Kritikan tersebut berkaitan dengan kewenangan MK dalam membubarkan partai politik. MK Turki sudah membubarkan sebanyak 30 parpol selama dibentuk sejak 1962,” katanya.
Sementara itu, sistem kekuasaan di Azerbaijan dibagi menjadi beberapa cabang kekuasaan dengan sistem pemisahan kekuasaan. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Ketua Komisi Hukum Senat Azerbaijan Ali Huseynii. Huseynii mengungkapkan cabang kekuasaan itu, yakni legislatif yang diwakili oleh Milli Najlis, eksekutif diwakili oleh Presiden dan yudikatif diwakili oleh peradilan di Azerbaijan.
“Konstitusi membagi cabang kekuasaan yang harus saling berinteraksi satu dengan lainnya. Ini merupakan prinsip organisasi pemerintahan modern yang berdasarkan kebangsaan dan struktur demokrasi masyarakat,” tandas Huseynii. (Dodi Haryadi/Lulu Anjarsari/Shohibul Umam/Miftakhul Huda)