Jakarta, MKOnline - Selesai melakukan pembahasan pada Sesi I, para peserta masing-masing panel kembali memasuki ruangan. Panel dimulai tepat pukul 11.15 WIB, pada Selasa (12/7) di Hotel Shangri-La Hotel, Jakarta. Pada Sesi II ini peserta melakukan pembahasan dengan mengangkat tema Democratization of Lawmaking Process (Demokratisasi Proses Pembuatan Undang-Undang).
Pembahasan tema ini dilakukan dengan tiga panel, yaitu Panel 1- 3. Untuk Panel 1 terdapat tiga pembicara, yaitu Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Ignatius Mulyono, Ketua Tribunal do Recurso Timor Leste Claudio Ximenes, dan Ketua Komite Urusan Hukum Parlemen Republik Lituania Stasys Sedbaras.
Mulyono menjelaskan komposisi DPR RI yang terdiri dari sembilan fraksi yang sangat menyulitkan dalam merumuskan serta memperoleh kesepakatan pada saat merumuskan ketentuan undang-undang (UU). “Banyaknya pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) disertai banyaknya anggota DPR yang merangkap di beberapa alat kelengkapan DPR, memperlambat proses pembentukan UU,” terangnya.
Sedangkan subtansi sebagai proses pembentukan UU yaitu masukan dari masyarakat, menurut Mulyono, tidak selalu sama, bahkan sering bertentangan secara diametral. Dengan demikian, menurutnya, DPR seringkali dihadapkan pada situasi yang dilematis yaitu perbedaan kepentingan yang saling berhadapan. “Untuk itu diperlukan kearifan dan sifat kenegarawan dari anggota DPR dalam pembahasan RUU untuk menghasilkan RUU yang dapat diterima semua pihak,”tuturnya.
Terkait dengan hal tersebut, menurut Mulyono, keberadaan MKRI sebagai pengawal konstitusi dinilai sangat penting. Perkara pengujian UU terhadap UUD 1945 di MK merupakan salah satu cerminan demokrasi. MK menguji apakah terdapat pertentangan baik secara formil maupun materiil antara UU dengan UUD 1945. Dalam hal MK menyatakan terdapat pertentangan maka tugas DPR bersama Pemerintah selaku pembentuk UU adalah menyempurnakan UU melalui mekanisme Legislasi.
Sementara itu Claudio Ximenes dari Timor Leste menuturkan pentingnya membangun dan menegakkan checks and balances pada negara yang baru berdiri seperti di negaranya. Ia melihat keberadaan lembaga semacam MK sangat penting guna memastikan terlaksananya fungsi dan peran pada masing-masing lembaga negara yang diberikan kekuasaan oleh konstitusi.
Stasys Sedbaras dari Lithuania menekankan pada pentingnya untuk lebih mendemokratisasikan proses legislatif di negaranya. Ia menuturkan bahwa saat ini UU tentang Pokok-Pokok Proses Legislatif sedang disusun, yang isinya mengatur ketentuan procedural maupun hal-hal yang substansial termasuk memberikan akses publik yang seluas-luasnya untuk melakukan kontrol. “Pada setiap pembuatan hokum, draft-nya harus dumasukkan terlebih dahulu pada situs parlemen untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk member masukan,” jelasnya.
Dinamika Legislasi
Hal menarik dalam Panel 3 dengan pembicara Ketua MA Filipina Renato C. Corona, Ketua Komisi Hukum DPR RI Benny K. Harman, Wakil Presiden Pertama DPR Maroko Mohammed Abbou. Pada kesempatan itu, Benny K. Harman memaparkan makalah dengan judul ‘Democratization of Lawmaking Process (Lessons From Indonesia)’. Dalam penjelasannya, ia menuturkan bahwa sistem UUD 1945 tidak menganut pemisahan kekuasaan (separation of power) antara kekuasaan legislatif dan eksekutif, karena menyerahkan kekuasaan membentuk UU kepada dua lembaga negara, yakni DPR dan Presiden.
Namun, ujarnya, sistem tersebut membawa konsekuensi dan resiko ketatanegaraan, khususnya jika dikaitkan dengan implementasi demokrasi presidensiil dalam sistem multi partai. Paling tidak, ada dua resiko ketatanegaraan yang potensial terjadi. Pertama, pemerintahan menjadi tidak efektif. “Kedua, pemerintahan yang berkuasa berpotensi kembali menjadi otoriter,” ujarnya. Namun ia menegaskan, hal ini hanyalah sebuah analisis, bukan beranjak dari praktik yang terjadi.
Disamping itu, menurutnya, ada dua konsekuensi yang mungkin terjadi. Pertama, kedudukan DPR dan Presiden dalam hal pembuatan UU sama kuat. Dan kedua, dalam pembahasan sebuah RUU, Presiden relatif tidak mengalami kesulitan dalam proses pengambilan keputusan karena Presiden hanya satu orang.
Terkait peran MK dan penguatan demokratisasi di Indonesia, Benny berkesimpulan, kehadiran MK dalam sistem ketatanegaraan RI adalah penegasan bahwa sistem demokrasi yang dianut adalah demokrasi konstitusional dengan ciri supremasi konstitusi dan bukan supremasi parlemen. “MK perlu untuk menjaga dan meningkatkan sense of ownership setiap warga atas UU,” pesannya.
Sedangkan pembicara lainnya, Renato C. Corona, mengangkat makalah berjudul ‘The Philippine Supreme Courts Role In Ensuring Checks And Balances’. Ia memberitahukan, di Philipina tidak terdapat Mahkamah Konstitusi, yang ada hanyalah Mahkamah Agung (MA). Namun, MA di Filipina memiliki kewenangan yang hampir sama dengan MK di negara lain. “MA dapat melakukan judicial review terhadap UU yang bertentangan dengan konstitusi,” ujarnya.
Menurutnya, keberadaan MA di Filipina juga telah memperkuat penegakan prinsip-prinsip demokrasi di negaranya. Salah satu buktinya, lembaga-lembaga pemerintahan kadang berdebat secara mendalam tentang suatu persoalan. “Manifestasi yang normal,” tuturnya. Menurutnya, hal ini merupakan bukti demokrasi yang sehat.
Sempat ditanya oleh salah satu peserta, Ni’matul Huda, terkait apakah di Filipina ada putusan yang menyatakan berlaku secara bersyarat seperti konstitusional bersyarat di MK RI, Renato menyatakan tidak pernah. Menurutnya, putusan MA disana selalu bersifat absolut. “Tidak diperbolehkan membuat putusan kondisional,” tegasnya.
Adapun pembicara dari Maroko, Mohammed Abbou, menjelaskan mengenai referendum konstitusi di negaranya. Pada awal Juli ini, Maroko sedang melakukan referendum atas konstitusinya. Ia menuturkan, ada beberapa unsur utama yang sedang dirumuskan dalam konstitusi baru tersebut. Beberapa diantaranya adalah terkait kedaulatan bangsa dan konstitusi, independensi dan kemandirian lembaga negara, hak dan kewajiban dasar warga negara, kesetaraan perempuan dengan laki-laki, serta menegaskan pengakuan atas hak asasi manusia.
Prinsip Demokrasi
Kemudian, pada Panel 3 sesi II ini diisi oleh Anggota Senat Thailand Prajit Rojanaphruk dan Wakil Ketua Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR Azwar Abubakar. Rojanaphruk dalam pemaparannya menyampaikan adanya sistem kaji ulang berkaitan dengan RUU Organik di Thailand. Di Thailand, lanjut Rojanaphruk, UU disusun bersama antara parlemen dengan senat. Produk RUU tersebut nantinya akan diajukan kepada perdana menteri untuk mendapat persetujuan sebelum akhirnya ditandatangani oleh Raja. “Namun jika perdana menteri menemukan adanya rancangan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi, maka perdana menteri akan mengajukan ke MK. Proses inilah yang disebut sebagai proses kaji ulang. Hingga diajukan kepada raja dan disahkan dalam Lembaran Negara,” papar Rojanaphruk.
Sedangkan, Wakil Badan Kerjasama Antar Parlemen DPR Azwar Abubakar juga menjelaskan mengenai proses pembuatan perundang-undangan di Indonesia yang diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2004. Menurut Abubakar, ada beberapa asas dalam pembentukan undang-undang di Indonesia, di antaranya kejelasan tujuan, organ pembentuk yang tepat kesesuaian materi dan jenis muatan, kedayagunaan, kejelasaan rumusan, dan keterbukaan.
“Asas keterbukaan dalam pembentukan undang-undang merupakan salah satu asas demokrasi. Seluruh anggota masyarakat mempunyai hak untuk memberikan suulan dalam peraturan perUU. Negara memberi peluang untuk hal tersebut di dalam UU 10/2004 yang menyatakan masyarakat berhak memberikan masukan dalam proses perancangan undang-undang. Demokratisasi juga dilakukan melalui kebebasan pers UU 40/1999 yang menjamin menyampaikan informasi dan keterbukaan informasi publik. Setiap UU yang dibuat DPR dan ditandatangani oleh Presiden merupakan representasi rakyat sebagai salah satu prinsip demokrasi,” jelas Abubakar.
Tema besar simposium kali ini ialah “Constitutional Democratic State” (Negara Demokrasi Konstitusional). Pembahasan tema besar ini dibagi dalam tiga subtema dengan pembahasan masing-masing tema dalam tiga panel. Sesi I bertema The Role of Constitutional Court and Equivalent in Strengthening the Principles of Democracy (Peran Mahkamah Konstitusi dan Institusi Sejenis dalam Menguatkan Prinsip-Prinsip Demokrasi). Untuk Sesi II bertema Democratization of Lawmaking Process (Demokratisasi Proses Pembuatan Undang-Undang) dan sesi III, The Mechanism of Checks and Balances among State Institutions (Mekanisme Check and Balances di antara Lembaga-Lembaga Negara). (Dodi Haryadi/Lulu Anjarsari/Shohibul Umam/Miftakhul Huda)