Jakarta, MKOnline - Memasuki hari kedua The International Symposium on Constitutional Democratic State bertemakan Negara Demokrasi Konstitusional (Constitutional Democratic State), Selasa (12/7), para peserta dibagi dalam tiga panel terpisah dengan tiga subtema. Pada Panel I membahas tema Peran Mahkamah Konstitusi dan Institusi Sejenis dalam Menguatkan Prinsip-Prinsip Demokrasi (The Role of Constitutional Court and Equivalent in Strengthening the Principles of Democracy). Para peserta mengulas berbagai permasalahan hukum, demokrasi dan konstitusi, baik dari segi teoritis, aturan hukum, maupun praktik di negara masing-masing.
Dalam sesi tersebut ada lima pembicara, yaitu Hakim Mahkamah Konstitusi Federal Jerman Rudof Mellinghoff, Hakim Mahkamah Konstitusi Mongolia Dugerjav Munkhgerel, Presiden Mahkamah Konstitusi Kolombia Juan Carlos Henoa Perez, Ketua Dewan Konstitusi Republik Kazakhstan Rogov Igor Ivanovich, dan Hakim Konstitusi MK Republik Indonesia Maria Farida Indrati.
Rudof Mellinghoff mengatakan sebagai aturan umum, demokrasi membutuhkan penentuan nasib sendiri dari warga negara yang memiliki hak yang sama. Menurutnya, kebebasan berpendapat oleh masyarakat adalah prasyarat penting dari proses politik. Selain itu, harus dipastikan bahwa dalam sebuah demokrasi parlementer, parlemen sebagai badan perwakilan rakyat harus efektif dapat melaksanakan fungsi-fungsinya dalam interaksi dengan badan-badan konstitusional lainnya.
Sementara itu, Hakim MK Mongolia Dugerjav Munkhgerel menuturkan meskipun MK Mongolia tergolong masih baru, tetapi perannya sudah cukup besar yaitu memastikan apapun undang-undang dan keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga negara lain tidak bertentangan dengan konstitusi. “MK juga mempunyai kewenangan untuk memutuskan terkait dengan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden, Perdana Menteri, Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung, dan sebagainya, apakah melanggar konstitusi apa tidak,” terangnya. Di samping itu, MK Mongolia mempunyai kewajiban untuk menjamin setiap warga negara Mongolia dan warga negara asing yang tinggal secara sah di Mongolia, dapat mengajukan keluhan kepada MK. “Mereka memiliki hak untuk mengajukan permohonan atau keluhan kepada Mahkamah Konstitusi Mongolia,” papar Dugerjav.
Pengalaman lain disampaikan Presiden Mahkamah Konstitusi Kolombia, Juan Carlos Henoa Perez. Pada saat memaparkan materinya, ia menegaskan pelaksanaan demokrasi, partisipasi, dan pluralisme harus tercermin dalam penghormatan terhadap martabat manusia. Di Kolombia, menurutnya, pemungutan suara merupakan instrumen untuk membangun pemerintahan akuntabel. “Itu adalah sifat demokratis piagam kita dan itu adalah salah satu prinsip yang mendasari Konstitusi kita,” katanya.
Disamping berbicara tentang prinsip yang mendasari konstitusinya, Juan Carlos Henoa Perez juga menyinggung tentang peran utama MK dalam yurisdiksi sosial. Ia menerangkan bahwa kontrol hukum yang ada di Kolombia tidak terlepas dari dimensi politik yang memungkinkan untuk terus-menerus diawasi publik. “Masyarakat mengoreksi langsung keputusan mereka, atau mengambil tindakan untuk memastikan efisiensinya,” terangnya.
Sementara itu, Rogof Igor Ivanovich, Ketua Dewan Konstitusi Republik Kazakhstan, menurutkan bahwa hukum dasar Kazakhstan menjadikannya negara demokratis, yang menjunjung nilai-nilai tertinggi manusia, termasuk hak hidup, dan hak-hak kebebasan, termasuk memberikan jaminan hak kepemilikan.
Sedangkan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dari MKRI pada kesempatan tersebut menekankan peran MKRI dalam melindungi hak konstitusional warga negara, termasuk hak memilih dan dipilih. Menurutnya, MK menjamin pelaksanaan hak tersebut untuk tidak dihambat atau dihalangi oleh berbagai kepentingan pihak-pihak tertentu, termasuk menghalangi-halangi secara administratif yang mempersulit warga negara untuk menggunakan hak pilihnya.
“Sampai saat ini kehadiran MK dalam sistem ketatanegaraan, dinilai oleh banyak kalangan memberi banyak konstribusi bagi tumbuhnya prinsip-prinsip demokrasi dan tegaknya hukum di Indonesia. Sejak berdirinya MK, pembuat UU tidak bisa hanya berdasarkan kesepakatan mayoritas pada kepentingan sesaat tetapi harus melihat apakah kepentingan tersebut bertentangan dengan konstitusi apa tidak,” terang Maria.
Ultra Petita
Untuk Panel II bertindak sebagai panel adalah Hakim Konstitusi RI Anwar Usman, Hakim MK Korea Min Hyeong-Ki, Hakim Konstitusi Lithuania Toma Birmontiene, Hakim Konstitusi Chile Christian Suarez Crothers, dan Hakim MK Spanyol Francisco Perez de Los Cobos. Panel ini dimoderatori oleh Jawahir Thontowi.
Anwar Usman menyampaikan makalahnya berjudul ‘The Role of Constitutional Court in Strengthening the Principles of Democracy in Indonesia’. Pada kesempatan itu, ia memaparkan sejarah serta latar belakang pemikiran tentang lahirnya MKRI. Menurutnya, keberadaan MKRI, salah satunya, ditujukan untuk meneguhkan penegakan hukum serta prinsip-prinsip demokrasi.
Selain itu, ia juga menginformasikan data perkembangan penanganan perkara MKRI terakhir. Setidaknya, ada 840 permohonan yang telah diajukan. Termasuk didalamnya, 372 permohonan Pengujian undang-undang (UU), 5 pekara sengketa kewenangan lembaga negara, 116 perselisihan hasil pemilihan umum nasional, dan 337 permohonan terkait perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah. “Ada 781 permohonan yang telah diputus hingga awal Juli 2011,” ujarnya.
Dalam paparannya, Anwar juga menyinggung beberapa putusan MK. Ia menegaskan MK selalu berupaya melindungi serta memperjuangkan hak-hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi (UUD 1945). Diantaranya, terkait dibukanya pintu untuk calon kepala daerah perseorangan dan memperbolehkan penggunaan KTP dan paspor dalam Pemilu ketika menghadapi persoalan Daftar Pemilih Tetap pada Pemilu yang lalu.
Sementara itu, Christian Suarez Crothers, memaparkan tentang proses amandemen konstitusi di Chile. Menurutnya, hasil amandemen sangatlah memengaruhi perkembangan demokrasi dinegaranya. Dalam konstitusi tersebut, menyebutkan, anggota MK Chile berjumlah 10 orang. “Tiga dari Presiden, tiga dari Mahkamah Agung, dan empat dari Senat,” ujarnya.
Salah satu kewenangan MK Chile, adalah menyatakan tidak berlakunya sebuah undang-undang untuk kasus-kasus tertentu. Ia menyebutkan, dua diantara ketentuan yang telah dibatalkan oleh MK Chile ialah aturan yang menyebutkan pengacara harus memberikan pembelaan secara cuma-cuma serta terkait hak kesehatan rakyat. Dalam menjalankan tugasnya, MK Chile, mengadopsi beberapa prinsip hukum internasional, salah satunya, erga omnes. Dalam makalahnya, Corthes, mengangkat tema ‘Constitutional Justice, Fundamental Rights and Democracy in Chile’.
Adapun pembicara lainnya, Min Hyeong-Ki membawa makalah ‘The Role of the Constitutional Court in Strengthening the Principles of Democracy’, Toma Birmontienė ‘The Doctrine of the Constitutional Court of Lithuania as An Instrument in Shaping Democratic Institutions’, dan Francisco Perez de Los Cobos ‘Constitutional Court’s Role in Strengthening Democracy in Spain. Sebelum Panel ditutup, para peserta juga sempat melakukan tanya jawab singkat.
Salah satu peserta bertanya apakah hakim di negara masing-masing dapat melakukan ultra petita. Hakim Min Hyeong-Ki menjawab, di Korea belum pernah ada putusan ultra petita. Meskipun tidak menutup kemungkinan untuk itu. “Jika itu dibutuhkan oleh pengadilan,” ujarnya. Begitupula di Spanyol. Sedangkan di Lithuania, menurut Toma Birmontiene, ultra petita dapat dilakukan. “(Kami) pernah (melakukannya),” katanya.
Masalah Sosial-Kultural
Hal menarik yang muncul pada panel III seperti yang disampaikan moderator Paulus Hadi Suprapto. Kelahiran MK di berbagai negara umumnya terdorong akibat adanya permasalahan sosial cultural serta munculnya wacana mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia. Sementara, hak untuk menegakkan demokrasi dapat dinyatakan sebagai faktor utama munculnya negara demokratis yang konstitusional
Lima hakim konstitusi dari lima negara hadir memberikan penjelasan peranan MK di negara masing-masing pada panel ini. Para pembicara di antaranya Hakim Konstitusi Uzbekistan Uzak Barazov, Hakim Konstitusi Kerajaan Thailand Chalermpon Ake-uru, Hakim Konstitusi Austria Johannes Shcnizer, Hakim Konstitusi Ukraina Mykhallo Zaporozhets, serta Hakim Konstitusi MK RI Ahmad Fadlil Sumadi.
“Di dalam sistem ketatanegaraan di Uzbekistan, MK Uzbekistan memiliki peran penting untuk memastikan prinsip Check and Balances berjalan dengan baik. Mahkamah Konstitusi di Uzbekistan juga memiliki kewenangan untuk menjaga dan melindungi hak asasi warga negara Uzbekistan. Prinsip utama Hakim Konstitusi Uzbekistan bekerja dengan berdasarkan asas mandiri, kolegial, transparansi, dan kesamaan hak dalam hukum,” urai Hakim Konstitusi Uzbekistan Uzak Barazov.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Austria Johannes Schnizer menjelaskan putusan MK Austria tidak selalu diikuti dengan implementasi di lapangan, misalnya saja mengenai Putusan MK Austria tentang papan petunjuk jalan. Menurut Schnizer, di beberapa wilayah seperti di Campton, dihuni oleh masyarakat minoritas yang menggunakan bahasa Slovenia sebagai bahasa sehari-hari.
“Gubernur Campton yang lalu tidak melakukan putusan MK yang memerintahkan agar papan petunjuk jalan di Campton harus dibuat dalam dua bahasa arena konstitusi mengatur hal ini. Dan, kini papan petunjuk jalan sudah diimplementasikan oleh Gubernur Campton yang baru dan ternyata meraup jumlah suara yang banyak. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan konstitusi dipahami oleh Rakyat Austria,” papar Schnizer.
Pembahasan sesi I ini bagian dari tiga subtema simposium ini. Untuk Sesi II adalah bertema Democratization of Lawmaking Process (Demokratisasi Proses Pembuatan Undang-Undang) dan sesi III, The Mechanism of Checks and Balances among State Institutions (Mekanisme Check and Balances di antara Lembaga-Lembaga Negara). (Dodi Haryadi/Lulu Anjarsari/Shohibul Umam/mh)